Malam semakin larut. Usai ritual dari Nek Ga, semua orang menjadi lebih tenang. Percakapan-percakapan masih berlangsung. Musik masih dimainkan. Gelak tawa masih terdengar. Namun tidak lagi berlangsung dengan suasana riuh.
Rupung duduk di pojok ruangan, dekat dengan meja makan. Beberapa orang duduk bersamanya. Nadi, Karno, dan beberapa orang Sakai. Puhtir bolak-balik datang mengangkut gelas yang hendak dicuci, sambil sesekali bertanya “Ada yang belum puas minum? Masih ada satu galon.”
“Apa yang dilakukan Nek Ga tadi,” ujar Rupung dengan suara penuh dahak sebab tuak telah menyumbat tenggorokannya, “juga bisa kau bilang penghormatan terhadap para binatang.”
“Bagaimana mati dengan cara demikian bisa dibilang penghormatan?” tanya Nadi. Seketika itu juga ia merasa bersalah sebab ingat bahwa siapapun sudah dipengaruh alkohol dan perkataan apapun yang keluar dari mulut orang dapat dipastikan terlalu banyak bersifat khayali.
“Kau tidak mengerti maksudku?” tanya Rupung. Nadi menggeleng, dan ternyata semua orang juga menggeleng.
“Haha. Sebab itu, banyak belajar pada aku. Sudah kukatakan aku banyak punya cerita. Kalian tidak percaya!”
Pengaruh alkohol jelas sudah menguasai sepenuhnya kepala Rupung.
“Begini, lebih dekat lagi, lebih dekat lagi. Biar kuceritakan satu.”
Rupung mengambil minuman yang disodorkan kepadanya untuk entah, mungkin ke seratus kali, menegaknya setengah gelas, bersandar, lalu, dengan mata terpejam melantunkan sebuah cerita dalam bahasa Uud Danum.
Rupung tidak main-main. Ia tidak sekadar ngalor-ngidul. Ia benar-benar bercerita. Disampaikan dalam dua jam dengan diselingi pamit ke kamar mandi atau menegak minuman. Cerita itu adalah tentang masa ketika dewa-dewa memutuskan untuk menghadirkan makhluk yang lebih bijak dari semua hewan yang ada, sekaligus lebih mengerikan. Sebuah fabel nan menawan. Akhirnya Nadi mengerti mengapa Rupung dijuluki sebagai “pendekar mabuk” jika sudah berkaitan dengan kisah-mengisah.
***
Suatu hari, dua ekor kijang berjalan-berjalan menyusuri tepi sungai. Kabut baru pun menepi, menampakkan panorama lembah dari ketinggian bukit. Lama berjalan, salah satu Kijang lantas mengusulkan mencari makanan. Yang seekor lagi setuju. Mereka berjalan ke lembah, sampai akhirnya menemukan padi yang tumbuh sembarang. Bukan main senang hati mereka. Satu per satu tangkai padi dicabut lalu dijemur. Dahulu kala, Kijang mahir sangat untuk membuat makanan yang lezat. Tidak seperti binatang lain, yang suka makan dengan tergesa-gesa dan terburu-buru.
Setelah padi dicabut, mereka menjemurnya. Hari semakin siang dan terik matahari membakar punggung mereka. Namun itu tidak membuat urung kesenangan mereka. Seekor Kijang dengan cekatan membuat tikar dari rotan-rotan yang tumbuh di sekitar. Seekor lagi, lalu menghampar padi yang telah dipungutnya ke atas tikar. Semua dilakukan dengan hati-hati, sehingga tidak sebiji pun padi yang tercecer atau terinjak.
Tapi, mereka menjemur padi di bawah pohon kates. Karena ini, nasib sial menghampiri.
Tidak lama, setelah padi dihampar, seekor Tekukur datang dan hinggap di atas batang pohon kates yang menaungi padi Kijang. Angin siang hari berhembus dengan pelan dan Tekukur terlalu mengantuk untuk melihat sekitar. Pagi tadi ia makan buah beringin terlalu banyak dan genap sudah alasan untuk membuatnya ngantuk. Lalu tekukur tertidur. Belum lama, ia terbangun lagi sambil mengeluh, “Apa isi buah tadi hingga perutku sontak sakit begini.” Tanpa bisa ditahan lagi, kotoran-kotoran tekukur yang seberat batu pun jatuh.
Kotoran paling besar dan paling berat menimpa Kijang yang tengah berdiri santai menunggui padi-padi mengering. Terdengar bunyi “prak”, tanda ada tulang Kijang yang patah. Lantas, terdengar bunyi “buk”, tanda Kijang itu tumbang.