Mereka cukup lama menunggu, hingga warna langit memerah. Beruk, Semut, Trenggiling, Kijang, melaung bergiliran memanggil Babi. Pohon Petai menyenggol pohon rambutan, pohon rambutan menyenggol pohon yang lainnya. Begitulah cara pohon-pohon mengabarkan sesuatu.
Yang dicari akhirnya datang juga. Napasnya tidak beraturan seakan telah berlari sepanjang hari. Segera Beruk melompat ke hadapannya.
“Babi, Babi, kawanku. Mengapa kau sampai menabrak pohon. Kawan kita trenggiling kehilangan….”
“Aku tidak sengaja Beruk,” cepat Babi memotong cerita Beruk. Grok-groknya terdengar mengenaskan, tapi masih cukup jelas untuk mendedah alasannya. “Aku tidak sengaja, aku tidak sengaja. Aku sangat gelisah dua hari lalu, satu hari lalu, hari ini juga. Aku lompat-lompat, aku lompat-lompat sana ke sini. Hampir mati aku begitu terus setiap hari. Bagaimana aku tidak begitu. Anjing-anjing mengejarku. Anjing-anjing mengintaiku. Dibuatnya kuku patah semua. Dibuatnya hidungku bengkok. Aku jatuh dari tebing. Sekarang mereka masih mengejarku. Aku tidak mau tertangkap. Memang Tuhan telah suruh aku menjadi makanan anjing. Tapi belum tiga hari lalu mereka terkam babi lain, mengapa mereka cari aku juga. Penyakit apa yang buat lambung mereka serakah begitu. Kau harus tanya mereka, Beruk. Jangan sampai murka Tuhan turun ke mereka. Ini sudah kelewatan batas. Tiga hari lagi, aku siap ditangkap. Tapi tidak hari ini, Beruk.”
Usai mengucapkan alasannya, Babi memohon pamit, dan tanpa menunggu jawaban, kembali lari, dangan lebih tergesa-gesa. Tidak lama setelah Babi minggat, terdengar salak anjing-anjing. Beruk menunggui mereka lewat.
“Berhenti sekarang atau kami semua menghukummu!” sergah Beruk ketika dua ekor Anjing lewat. Yang seekor berwarna coklat dengan borok di telinga, sementara yang lain berwarna hitam abu-abu. Keduanya marah karena diteriaki, namun begitu melihat bahwa yang menghentikan mereka adalah Beruk, pengadil rimba, reda begitu saja kemarahan kedua hewan itu. Mereka menyambangi Beruk dengan sopan santun, dan seperti Babi, napas mereka terdengar memburu. Tetes liur berjatuhan dengan deras dari moncong mereka.
“Mengapa kalian sekarang menjadi hewan yang tidak kenal puas. Gara-gara kalian Babi menabrak pohon, Trenggiling kehilangan tempat tinggalnya, Semut kehilangan sarangnya, Pohon Petai berbuah asam, Tekukur menjadi berak batu, dan seekor Kijang mati,” geram Beruk, tidak mengindahkan sopan santun kedua anjing di hadapannya.
Dua ekor anjing itu berdiam diri, masih berusaha mengatur napas, sampai kemudian Anjing berwarna coklat dengan borok di telinga berbicara. “Bukan mau kami, bukan mau kami, wahai pengadil rimba yang bijaksana. Kami pun sudah letih berhari-hari mengejar babi. Mau kami sekarang ini adalah bergurau dengan ekor-ekor kami sambil menjilati kaki kami. Tetapi, kami tidak bisa. Majikan kami suruh kami terus kejar Babi itu. Masih beruntung baru satu Kijang yang mati, sedangkan di pihak kami sudah tiga ekor mati karena kelelahan.”