Matahari telah lepas dari pohon beringin yang paling tinggi. Sungai tetap menyimpan dingin, namun rerumputan, ilalang, dan tanah yang dihunjami akar mulai hangat. Benediktus keluar dari rumah, mencelupkan diri ke dalam sungai sejenak, lantas membiarkan tubuhnya terpapar matahari di teras. Sebatang rokok menempel di bibirnya. Hingga tiga batang rokok, ia masih seperti itu. Pikirannya berkelana tanpa arah, memikirkan beberapa peristiwa.
Rokok terakhir tinggal puntung. Jari-jemari Benediktus bergerak pada papan-papan teras, dan ia masih belum menemukan gagasan apapun untuk dilakukan.
Istrinya muncul di ambang pintu. Tangan kiri menggendong Umang, tangan kanan membawa sepiring nasi makanan Umang. Melihat suaminya duduk terpapar sinar matahari, hampir tidak bergerak di teras, istri Benediktus menjadi geram.
“Demi dewa manapun. Kuat nai tahkon ponuot muk tuh, sojaham kok ngorabwuk (bangunlah dari dudukmu sebelum jadi abu). Atau kau sudah jadi jemuran baju?”
Benediktus bangkit dan masuk ke rumah. Ia tidak melihat Santo, Nadi, dan rombongan peneliti masih berada di rumah, dan kemudian sadar bahwa mereka sudah pulang ke Pontianak. Sedikit rasa rindu menghantui. Rumah ini kemarin begitu ramai dan sekarang sesepi kuburan. Hari-hari membosankan kembali dimulai.
Benediktus mengalihkan perhatiannya ke meja makan, dan di bawah tudung saji hanya menemukan pakis dan jamur yang dikuahi kecap. Meskipun kecewa, Benediktus melahapnya. Hampir sama rakusnya dengan seekor babi. Pada porsi kedua, ia ingat bahwa Santo meninggalkan uang di dompetnya.
“Mungkin aku terlalu banyak minum sampai lupa hal penting seperti itu,” ujar Benediktus pada dirinya sendiri. Santo, oh kau abangku, sudah selayaknya santo sesungguhnya. Sang penyelamat di gurun yang kering. Terima kasih Santo. Terima kasih Tuhan. Benediktus bersyukur di dalam hatinya.
“Andai semua saudara seperti Santo, andai semua orang di Sakai seperti Santo,” batin Benediktus.
Usai suapan terakhir, Benediktus masuk ke dalam kamarnya untuk mengecek dompet berwarna coklat tua yang terkupas amburadul di sudut-sudutnya. Jumlah uang yang ada melebihi perkiraannya. Ia bisa menikmati daging sapi, babi, ikan, dalam seminggu ini. Masih ada sisa untuk minuman bermerek. Bosan dirinya selalu dengan tuak dan arak. Sekejap saja, dada Benediktus dipenuhi kebahagiaan yang tidak terkirakan.
Tanpa pikir panjang, Benediktus mengambil mesin sampan, terburu-buru memakai sandal, dan melewati istrinya.
“Ke Kemangai,” itu saja isi pekikannya. Melihat istrinya menatapnya dengan kebingungan, Benediktus menambahi kalimatnya, “Kau tunggu saja di rumah. Tidak ada salahnya kita makan yang enak malam ini.”
“Duit dari mana?” istrinya balas memekik, hampir tidak memedulikan Umang yang mangap-mangap minta disuapi. Benediktus bersyukur istrinya tidak tahu perihal duit ini.
“Rambutan belakang berbuah duit. Cobalah ambil lebih banyak lagi.”