Amat dan Bonar adalah kawan Benediktus semasa SMP. Mereka bersahabat baik ketika Benediktus masih bujang.
Amat merupakan pria yang bertubuh pendek dan bulu-bulu menyembul dari ketiaknya. Tatapannya lesu, namun siapa yang sangka pria ini pernah berkuliah. Sedangkan Bonar, berbadan besar dan buncit. Bonar merupakan nama julukan saat SMP, singkatan dari “buncit bikin onar”. Hingga sekarang, ia masih buncit, namun tingkat keonarannya turun drastis.
Bersama dua orang ini, Benediktus dulu mencari makan dengan bertambang emas sepanjang Sungai Serawai. Bersama-sama mereka tunggang langgang mengangkat dompeng untuk menghindari petugas kepolisian. Bersama-sama mereka dikerumuni lintah karena menginap di area yang salah. Bersama-sama mereka meledek seorang tua yang mendapati mereka berak di kebun karet.
Berbagai aneka pembicaraan sudah mereka utarakan. Ratusan minuman sudah mereka tegak bersama. Kenangan-kenangan tentang masa lalu, sudah hampir semua diangkat. Ketika Benediktus memiliki Umang dan memutuskan untuk menetap di Sakai demi mengurusi ladang, perjumpaan mereka pun semakin jarang. Hanya di pasar di Kemangai ini mereka bisa bertemu dan menghabiskan hari. Kebiasaan ini tidak hilang walau uban mulai menyebar di ubun-ubun mereka.
Di warung kopi Akiang kali ini, Benediktus sedang diselimuti kejujuran teramat murni yang hanya bisa disaingi oleh seorang anak yang baru lahir. Ia pun menceritakan semuanya, bahwa ia memiliki duit dari Santo, dan Santo datang bersama rombongan ekspedisi, dan ekspedisi itu bertujuan untuk menghalangi perambahan sawit. Kedua sahabatnya mendengarkan dengan sarat minat.
“Apa yang salah dengan sawit?” celetuk Amat. “Aku kagumi Santo. Tidak ada yang tidak setuju jika disebutkan ia orang pandai. Kau pun setuju, heh?” sikut Amat menyenggol Bonar.
Bonar mengangguk, “Ya, ya, ia memang orang pandai.”
“Tapi, kau pun tidak kalah pandai Bens. Kau bisa menilai sendiri. Kau yang tinggal di Sakai, bukan Santo. Aku tentu tidak memiliki hak menilai dia, tapi, boleh aku sampaikan pendapatku?” sambung Amat.
Tanpa menunggu jawaban Benediktus, Amat melontarkan semua argumennya. “Lima tahun ini jadi mandor sawit Bens. Bukan aku mau sombong, bukan. Aku hanya mandor. Di atas mandor, ada lagi atasan. Di atas atasan, ada lagi direktur. Ada lagi pemilik. Jadi, aku tidak pantas sombong. Bukan begitu, heh?”
“Bukannya kau bekerja sebagai pengumpul karet?” sela Bonar.
“Itu juga. Bisa dibilang, aku mandor tidak sah perusahaan. Perusahaan butuh orang yang bisa dipercaya para petani. Orang-orang kita tidak mudah percaya dengan mandor luar,” Amat menghisap rokoknya dengan tarikan panjang-panjang. Tatapannya menerawang seolah seorang filsuf yang sedang memintal semua kerumitan kehidupan. “Aku lakukan ini bukan untuk aku sendiri Bens, tapi untuk semua orang kampung kita. Pernah kau dengar, ekonomi yang baik itu, ya muncul dari kampung, dari orang-orang seperti kita ini. Kalau dari kampung, kota juga dapat untung. Kalau dari kota, kampung tidak dapat apa-apa Bens.”
“Aku ikut dia…” sambung Bonar, namun responnya tidak mendapat tempat.
“Jadi, kau tahu heh caranya bagaimana orang-orang desa seperti kita bisa maju?”
Dengan satu ketukan jari yang cukup keras, Amat meleter lagi, “Orang desa harus ada kerja. Desa harus punya lapangan pekerjaan. Apa kerjamu sekarang Bens? Jangan salah sangka, bukan maksudku menghina. Kau hanya ikut bini berladang, ikut narik sampan, ikut siapa saja yang kebetulan menawarkan kau kerja.”
Benediktus tidak tahu harus menjawab apa. Ia bahkan tidak tahu ke mana arah pembicaraan.
“Kau pernah dengar petuah bapak-bapak kita? Kalau mau makan di hari ini, pergilah memancing. Kalau mau ada makanan hingga lima tahun lagi, tanamlah karet. Kalau mau ada makanan dua puluh tahun lagi nanti, tanamlah pokok belian.”
Benediktus masih tidak mengerti arah pembicaraan, tapi ia menjawab, “Aku punya karet setengah hektar.”
“Itu pun tidak kau garap, heh? Lagi pula, itu petuah lama Bens. Karet itu susah. Harganya saja sekarang tujuh ribu. Tahun depan, bisa jadi cuma lima ribu, tahun depan lagi, empat ribu. Naik sekali, turunnya lima kali.”
Benediktus tidak membantah. Bonar sepenuhnya menjadi pendengar sekaligus saksi unjuk kebolehan si Amat.
“Petuah hari ini, Bens, dengarkan aku, bunyinya: kalau mau makan lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, tanamlah sawit!. Biar aku jelaskan. Begini, duit itu tidak bisa dicetak begitu saja, tapi ikut dengan tingkat produksi. Kalau produksi barang semakin banyak, ya semakin banyak duit yang muncul. Begitu heh?