DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #21

Seminar #21

Musim kemarau belum juga berakhir. Hujan terakhir turun tiga bulan lalu. Orang-orang membicarakan kabut asap yang mulai muncul dari hutan gambut di pesisir barat daya. Memang belum sampai pada situasi yang menyesakkan, namun sudah mencemaskan. Bila tak ada hujan dalam beberapa hari ke depan, titik api akan bertebaran di mana-mana, kabut akan semakin pekat, udara semakin pengap, dan semua yang hidup kesulitan bernapas. Seperti yang sudah terjadi berkali-kali.

Santo bangun sebelum pukul enam meski baru tertidur pukul satu. Ia memang begitu, rajin sekali menikmati udara pagi. Baginya, menghirup udara pagi di teras depan adalah suatu kewajiban dan ibadah. Batu bata yang mengganjal di mata pun tidak akan menghalangi. Tidak ada masalah baginya melakukan itu lagi, di hari ini.

Hari ini, semangatnya berlipat-lipat. Seminar hasil ekspedisi di Sakai dan desa-desa sekitarnya akan dilaksanakan jam delapan, di aula sebuah hotel. Santo sendiri yang menyeduh teh, memasak nasi goreng, dan menikmati semua itu seakan pagi itu adalah pagi terakhirnya. Istrinya menyalakan televisi dan Santo tidak terganggu dengan berita-berita korupsi, macet ibu kota, kekonyolan politik, kebohongan internet; semua hal yang begitu jauh dari kehidupannya. Ia bahkan melemparkan guyonan pada keponakannya yang terburu-buru ke kamar mandi.

Di hari lain, hanya ada omelan yang keluar dari mulutnya. Keponakan-keponakannya, berjumlah lima orang, menumpang di rumahnya untuk berkuliah. Ia menjadi satu-satunya sanak yang bisa diandalkan di Pontianak, dan ia sungguh tidak keberatan. Sayangnya, keponakan-keponakan itu sering bertabiat buruk, setidaknya di mata Santo. Mereka sering pulang larut dan bangun ketika matahari sudah di puncak. Belum lagi masalah kebersihan kamar.

“Paman tidak tahu apa yang diajarkan dosen-dosen kalian, tapi sangat tidak mungkin mereka menyuruh kalian untuk tidur seharian! Dan kamar-kamar kalian? Lebih baik kusewakan untuk kandang babi!” begitu ujaran yang sering dilontarkan Santo.

Tetapi hari ini hari yang indah. Santo meminta Dian, keponakan yang terburu-buru ke kamar mandi tadi, untuk membangunkan saudara-saudaranya. Dengan antusias ia menawarkan nasi goreng yang dimasaknya sendiri kepada mereka. Lewat dari jam tujuh, Santo masuk ke garasi, dan hanya sedikit mengeluh ketika motornya susah untuk dihidupkan. Mendekati jam delapan, ia sudah tiba di tempat seminar.

Santo mendapati bahwa dirinya termasuk orang-orang yang datang paling awal di aula. Ia hanya menjumpai tiga orang di tempat acara, padahal waktu pelaksanaan seminar tidak lebih dari lima belas menit lagi. Ia menggerutu. Ketika Professor Tom menampakkan diri, gerutuan Santo mereda. Ia bangkit dan menyalami Profesor dengan begitu erat. Mereka bercakap-cakap santai tentang penyakit usia tua sembari menunggu kedatangan yang lain.

Lihat selengkapnya