Sejak tahun 1960-an, kawasan hutan dibabat habis-habisan dengan alasan produksi, program transmigrasi, dan entah apa lagi. Sebagaimana sifat sebuah produksi, ada nilai kebaikan, ada pula keburukannya. Sayangnya, bicara tentang alih fungsi hutan, sisi buruk yang sering menjadi kenyataan.
Hutan asli, yang berusia jutaan tahun, dalam beberapa tahun berubah dan hampir tidak mungkin diperbaiki lagi. Tahun 1990-an, perkebunan sawit, pembabatan liar, dan pertambangan merambah ke daerah pedalaman secara besar-besaran. Hutan dicerabut serupa mencabut ilalang. Terasa semakin menyedihkan karena yang menjadi kaya adalah orang-orang yang sosoknya hanya bayang-bayang. Hukum pun seolah tak dapat menyentuhnya. Pribumi tetap nelangsa seperti sedia kala. Tidak ada sejarah mencatat bahwa pribumi menjadi sejahtera karena pembalakan di hutan mereka. Kalaupun ada, hanya kategori tertentu.
Sementara itu, para intelektual bersedih hati dan menumpahkan segala simpati ketika menceritakan bahwa pribumi Kalimantan adalah orang terbelakang. Mereka mengatakan itu sambil duduk di lantai papan dari pohon ulin yang telah dirampas.
Sekarang, perambahan hutan memang mendapat perhatian lebih serius, tetapi tidak menjamin hutan tetap menancap akarnya. Contoh terbaru, kawasan hutan di Serawai dan Ambalau, sudah di ambang pencerabutan. Perusahaan sawit mendapatkan izin konsesi di Ambalau, dan tampaknya, mereka berhasrat terus memperlebar luasan lahan.
Masuknya investasi besar-besaran, jelas menjepit cara-cara dan pranata tradisional. Hutan menunggu kematiannya, dan itu tidak beda dengan membunuh budaya masyarakatnya, yang dalam kasus ini adalah masyarakat Uud Danum. Membunuh budaya adalah membunuh kepribadian, jati diri. Tidak ada yang menyanggah jika dikatakan peradaban Dayak lahir dari adanya hutan. Silakan bayangkan, bagaimana kehidupan Dayak tanpa ada hutan di sekitar mereka. Seperti melihat pohon tanpa daun.
Tetapi, perlu diingat lagi, bahwa sebenarnya investasi tidak selalu buruk, sebab ia koin dua sisi. Sisi yang satu berwajah penjahat, sisi yang lain menawarkan pembangunan dan kemajuan. Bergantung pada siapa yang memegang koin. Jika ia adalah pihak yang memahami dan melaksanakan investasi yang tidak hanya memikirkan soal untung secara finansial, maka investasi dapat menjadi solusi bagi permasalahan keterbelakangan masyarakat pelosok. Investasi seperti ini tidak merusak keharmonisan penduduk pedalaman dengan lingkungannya yang sudah terbina selama berabad-abad, sebaliknya, menjaga keharmonisan itu sebagai sesuatu yang berlanjut terus-menerus.
Karena itu, sejatinya tidak mustahil investasi sawit dapat diterapkan tanpa mencelakai siapapun atau hutan manapun. Yang menjadi musuh bukanlah investasi sawit. Pisau tidak akan pernah menjadi sebuah benda yang bersalah. Digunakan sebagai alat pemotong roti atau pembunuh, bergantung pada manusianya. Artinya, yang menjadi masalah adalah para investornya. Jika mereka mau, jika memang pembangunan dan kesejahteraan masyarakat menjadi alasan utama dari investasi, bukan suatu hal yang mustahil mereka dapat mengembangkan pola baru yang lebih bersahabat dengan alam dan punya perhatian pada penduduk lokal.
Misalnya investasi sawit juga bisa mengadopsi perkebunan komoditas yang selama ini mengakar di masyarakat: karet. Karet lebih mudah diterima penduduk pedalaman karena berbagai faktor. Antara lain, budidaya karet membentuk lingkungan yang mirip dengan hutan. Orang bekerja di kebun karet tidak banyak bedanya dengan bekerja di dalam hutan. Kebun karet juga masih bisa memberikan hasil meskipun kebun tidak dirawat secara rajin. Hal terpenting, dalam pola kepemilikan kebun, masyarakat masih memiliki hak atas lahannya.
“Tentu, antara sawit dan karet atau tanaman industri lain, terdapat perbedaan perlakuan. Yang ingin saya tekankan, penting bagi siapapun, entah itu akademisi, pejabat, atau investor, untuk meramu cara yang tidak merugikan penduduk. Bila memang memungkinkan, ramuan itu bisa dimulai dari mengadopsi kebaikan-kebaikan dari masing-masing komoditas. Kekurangan dan kelebihan harus diramu dalam porsi yang tepat, yang bisa dicerna dan dinikmati semua pihak. Jika memang pilihan pembangunan ada di sawit, mestilah untuk kemajuan penduduk juga,” ujar Profesor sambil mengedar pandangan.