Tanah adalah kekasih kehidupan dan pengantin kematian, itulah filosofi Santo seumur hidup. Berangkat dari filosofi memukau itu, Santo menjalani kehidupannya dengan selalu berhubungan dengan tanah, dan tidak berkhianat sekali waktu pun. Santo kecil hidup dengan bermain di sungai, lumpur, dan tanah. Beranjak dewasa, ia tetap pergi sekolah dengan kakinya langsung menyentuh tanah –situasi ini didukung oleh keadaan bahwa sepatu saat itu adalah barang yang tak menjadi prioritas dompet orang tuanya.
Ia kuliah ambil jurusan pertanahan. Ia bekerja di badan pertanahan. Pensiun, ia membeli tanah, mencangkulinya, lalu ditanaminya dengan bibit-bibit kelapa, rambutan, pisang, dan kopi.
“Kita lahir dari tanah, makan dari tanah, hidup di atas tanah, nanti mati di dalam tanah. Supaya tidak kaget nanti mati, akrab-akrabkan diri dengan tanah selagi hidup,” begitu jawaban Santo selalu, tidak kurang satu titik atau koma, kepada siapapun yang bertanya apa yang menjadikan tanah begitu bermakna baginya.
Kebun kelapa Santo terletak di Kakap, setengah jam dari rumahnya di Pontianak. Kebun itu belum lagi menghasilkan, baru berisi batang-batang kelapa yang malu-malu tumbuh karena belum genap setahun Santo menanamnya. Ia membeli lahan kebun ini lebih dari tiga tahun yang lalu, dengan hasil tabungan bertahun-tahun ditambah tunjangan pensiun. Sejatinya, ia ingin kembali ke Sakai saja, menjadi orang pedesaan seperti sedia kala yang berladang, mengurusi ternak babi, dan mungkin, berbagi pengalaman hidup. Ketiga anaknya pun sudah cukup besar untuk mencari nafkah sendiri, terlebih lagi, tidak ada satu pun di antara mereka yang menetap di Pontianak. Si sulung, di Jakarta. Si tengah, di Sumatera. Si bungsu, di Surabaya. Tetapi, istrinya kukuh untuk tetap bertahan di Pontianak. Istrinya itu cukup sibuk dengan kegiatan-kegiatan sosial gereja.
Alasan lain, rumahnya menjadi tempat tinggal bagi sanak keluarga yang masih muda-muda yang hendak berkuliah di Pontianak. Alasan lain lagi, dari Pontianak ia lebih mudah membangun relasi dalam penyelamatan tanah desa. Cukup lucu memang, membela desa tanpa harus tinggal di desa. Tetapi, buktinya ia berhasil berkawan dengan pemerintahan provinsi dan beberapa yayasan lingkungan. Jika ia di desa, bukan mustahil justru hanya menjadi pisau di dalam sarung. Alasan yang ke sekian lagi, setengah dirinya telah merasa nyaman menjadi manusia kota.
Kebun kelapa bisa dianggap sebagai jalan keluar kebutuhannya terhadap kesibukan dan tanah. Kebun ini juga menjadi tempat rekreasi dirinya pribadi.
Untuk masuk ke halaman kebun Santo, mestilah dulu melalui sebuah rumah. Rumah itu bekas pemilik kebun yang lama dan sekarang menjadi tempat berleha-leha Santo jika sedang tidak betah di rumah. Tidak banyak perabotan di dalamnya. Hanya ada dipan untuk merebahkan badan, piring-gelas, kompor, dan kopi-gula. Bila malam tiba, satu-satunya lampu di dalam rumah akan menyala. Lampu itu bersumber listrik dari rumah tetangga yang berdiri beberapa langkah saja.
Sejak persoalan sawit di Sakai terus menjadi kemelut dalam dirinya, Santo kerap datang ke kebun kelapa miliknya. Sebenarnya, tidak banyak kesibukan yang dapat ia lakukan di sana. Hanya menanami celah kosong di antara kelapa dengan tanaman buah lain, atau berbincang-bincang dengan tetangga kebun. Kadang, ia perlukan menginap semalam dua malam di kebun. Sekadar untuk menenangkan hatinya dan memulihkan pikirannya.
Ia masih belum bisa menerima sepenuhnya pidato Professor Tom, dan karena itu, kalimat-kalimat hiburan selalu ditanamkan ke dirinya sendiri, “Itu hanya pidato, kata-kata, kadang tidak berbeda jauh dengan slogan iklan. Yang terpenting, hasil penelitian telah ditandatangani pemerintah provinsi, artinya mereka menyetujui, ikut mengesahkan hasil penelitian, dan sekarang, bisa jadi modal untuk menghadapi siapapun.” Kalimat-kalimat hiburan itu, walau dicetuskan diri sendiri, setidaknya berhasil membuatnya tidak terkena serangan jantung akibat depresi.
Dalam masa yang tidak begitu rumit, ia mengalihkan pikirannya pada rencana dalok, pengantaran arwah bagi orang tuanya. Rencana itu sudah berbenih sejak dua tahun lalu, tetapi selalu tertunda, hingga akhirnya, beberapa bulan yang lalu, seluruh saudara-saudarinya mendesak untuk dilakukan segera. Mereka pun bersepakat dalok dilakukan akhir tahun bertepatan dengan natal. Tujuannya, agar keluarga-keluarga yang tersebar di mana saja, yang telah lama tidak kembali ke Sakai, bisa pulang untuk dalok sekaligus natal.