Pembuatan film dokumenter selesai tepat pada waktunya, yang artinya Nadi dapat ikut Santo ke Sakai untuk acara daloknya. Ada waktu satu minggu baginya untuk berehat. Mungkin akan diisi dengan menonton film di bioskop.
Sudah empat bulan ia di Sambas. Seorang teman yang berprofesi sebagai “videografer lacur”, membuat film apapun jenisnya sesuai pesanan, mengajaknya untuk membuat film dokumenter mengenai tenun sambas. Nadi dipersilakan bertanggung jawab untuk urusan naskah. Tawaran itu ia terima. Di luar alasan bayaran, ia mengalami suatu hal yang ia istilahkan “kenikmatan mengais-ngais identitas”. Tendensi itu ia alami setelah pulang dari Sakai.
Sambas, meski memberinya suatu sejarah masa kecil yang tidak menyenangkan, tidak dapat dielakkan sebagai bagian dari dirinya. Di Sambas, ia lebih mudah mengais-ngais identitas lewat keluarga bapaknya. Sering, setiap berbicara dengan dirinya, keluarga bapaknya bercerita tentang kehebatan kerajaan Sambas masa lalu, peninggalan sejarahnya. Kalimat “kita juga masih punya silsilah dengan kerajaan!” sering terlontar. Nadi tanggapi dengan banyak senyuman meski otaknya melongos, “Apa yang hebat dari menjadi keturunan kerajaan?”
Lalu, ia dapati hal baru. Bahwa identitas dan kebanggan kesukuan, punya nilai jual sebagai komoditi perdagangan. Siapa yang tidak menggunakan kain tenun Sambas, bukan orang Sambas. Mau tak mau orang membelinya meski hanya sedikit dari mereka yang tahu apa itu motif suji bilang, bagaimana filosofinya, bagaimana susahnya membuat kain itu. Kesukuan menjadi semacam brand perusahaan, diiklankan sedemikian rupa, dengan cara-cara menarik agar orang bangga terhadap brand tersebut.
Motif-motif tenun kerap diakui sebagai motif Sambas saja. Padahal di Brunei, juga sama. Banyak yang tidak mau mengakui bahwa Sambas merupakan keturunan jauh dari Brunei seolah Sambas lahir tiba-tiba saja dari dalam tanah. Sim salabim. Sangat lucu jika mendengar orang berbicara tentang orisinalitas sebuah produk budaya dengan hanya berpegangan pada satu akar saja.
Di Brunei juga lucu. Orang-orang Sambas dibayar untuk membuat tenun Sambas, lalu setelah jadi, tenun itu dicap dengan ‘tenun khas Brunei’ dan para pembuat tenun tidak berkata apa-apa karena yang terpenting bagi mereka, bayaran menenun mencukupi untuk makan dan cukup untuk dikirim ke keluarga di kampung. Bagi negara kaya, budaya bisa dibeli.
Apakah identitas? Sesuatu yang mencegah seseorang menjadi sama dengan yang lainnya atau mencegah seseorang menjadi berbeda dari kelompoknya?
Nadi yakin bahwa identitas bukanlah sesuatu yang tunggal. Ia semacam benang berwarna-warni, terikat satu sama lain, yang bila disentuh satu benangnya, akan bergetar semuanya. Berdentum serupa genderang. Benar, bahwa manusia memiliki kebutuhan terhadap identitas dan kondisi itu tidak akan berubah meskipun manusia tersebut berusaha sekuat tenaga mengabaikannya. Identitas selalu ada, terpatri serupa aksara yang dibuat dengan tinta abadi. Identitas bagai menjadi bagian dari takdir. Namun, menjadikan identitas sebagai batas dan benteng akan mengembalikan manusia tersebut kembali pada zaman primitif.
Di zaman pertemuan dengan orang lain semudah menghirup udara, di kala perjalanan ribuan mil serupa ke rumah tetangga, orang-orang yang masih mengagungkan dirinya hanya karena alasan trah akan menjadi katak di dalam tempurung, menciut dan mengerut karena gerahnya tempurung. Zaman purba, kala nenek moyang hanya berpindah dengan kuda dan pedati, barangkali tempurung merupakan tempat yang aman, dipan yang empuk. Tetapi kini, semua manusia mesti keluar dari batoknya. Tempurung tidak lagi tertelungkup di atas pasir putih nan indah, tetapi sudah terombang-ambing dalam arus yang terus saja membesar. Dielak maupun tidak. Sebab, sejarah telah menatarkan bahwa perbuatan baik, tingkah laku baik, kebanggaan menjadi manusia, dalam nilai setinggi-tingginya, dapat diraih oleh semua golongan darah. Sekaligus pula, kelakuan paling hina dina pun dapat dilakukan oleh semua manusia.
Kini, ada undangan dari Santo dan Nadi senang hati menyanggupinya.
Sampai di Pontianak, Nadi segera bertamu ke rumah Santo. Mereka bersalaman dengan erat, bagai bapak dan anak. Bagi Santo, Nadi merupakan orang dari jenis yang sulit ditemui. Anak muda itu mau mengurusi hal yang tidak dipedulikan orang lain. Kolimoi, Tahtum, sastra-sastra lisan itu, siapa yang perhatikan? Orang kampung sendiri pun bahkan kerap abai. Tapi Nadi adalah segelintir orang yang begitu bersemangat setiap berdiskusi tentang seni tutur itu.
Mereka bercakap tentang persiapan Dalok. Lebih pada tentang perihal teknis, kapan berangkat, siapa saja, pakai kendaraan apa. Santo jelaskan bahwa ia mengundang semua peneliti yang terlibat ekspedisi. Tetapi, hanya Nadi yang menyanggupi.