Santo, istri Santo, dua anak santo, dua kakak Santo, beberapa sepupu Santo, beberapa keponakan, dan Nadi, berangkat ke Sakai lima hari sebelum natal. Beramai-ramai mereka mengisi setengah bis malam jurusan Pontianak-Pinoh, dan tiba di Pinoh pada pagi hari, ketika kota sedang menyambut matahari. Anak-anak berwajah belepotan bedak dan seragam merah putih berjalan hati-hati di pinggir jalan. Tauke-tauke pemilik toko menyuruh karyawannya membersihkan pelataran. Ibu-ibu mengendarai motor dengan sikap antara ragu dan yakin, sedangkan di bagian depan motor, bergantung kresek-kresek yang dijejali sayur, ayam atau ikan. Tukang ojek dan tukang speed boat masih menguap dan hanya mencuci muka di sungai.
Santo dan rombongannya tidak langsung menuju ke Ambalau, melainkan menuju rumah keluarga Santo untuk menginap semalam. Di sana, sudah menumpuk keluarga Santo dari berbagai penjuru daerah, menjadikan rumah serupa penampungan pengungsi.
“Sengaja Dalok dibuat waktu Natal. Supaya ramai begini. Ada keluarga yang sudah tak pulang lima tahun, sekarang ikut datang. Libur panjang sampai tahun baru,” ungkap Santo kepada Nadi ketika mereka sedang bersantai di teras rumah. Nadi rasakan nada gembiranya dan ia nyatakan dirinya turut bergembira. Tidak terlukis sama sekali pikiran tentang masalah perusahaan sawit di raut Santo. Orang tua itu sepenuhnya berada dalam kegembiraan menyongsong Natal dan dalok.
“Speed boat hanya ada sampai lusa. Dekat Natal, tak ada speed boat mau jalan. Mereka juga mau natalan. Besok kita ramai-ramai ke Sakai. Sudah pesan speed dari minggu lalu,” lanjut Santo.
Jam sepuluh keesokannya, mereka beramai ke Sakai. Lima speed boat dipesan dan mereka masih saja berhimpit-himpitan. Empat jam kemudian, mereka tiba di Kemangai, singgah sejenak di rumah makan, lalu melanjutkan perjalanan dengan sampan. Sungai sedang pasang sehingga tidak ada masalah riam sungai yang terjal menghalang. Hanya saja, kapar, sampah kayu, terlihat di mana-mana. Beberapa kali sampan menabrak sampah kayu itu, menghasilkan suara dentum kecil di bagian buritan.
Menjelang sore, mereka tiba di Sakai. Meski tidak ada umbul-umbul, meski tidak ada gemerlap lampu-lampu, suasana dalok dan Natal begitu terasa di kampung kecil itu. Banyaknya orang yang berlalu lalang, anak-anak yang berlarian, menandakan akan ada kemeriahan pesta. Raut wajah setiap orang tampak ceria.