Tanggal 25 Desember, rumput masih pun basah oleh embun, ketika orang-orang Sakai telah keluar rumah dengan paras ceria dan bahagia. Santo dan keluarganya yang sudah berpakaian rapi melintas di depan rumah Maryam. Nadi belum mandi, sedang sarapan rokok dan kopi di teras. Santo memanggilnya, “Tidak ikut ke Gereja?”
“Ya, ikut. Nanti saya menyusul,” sahut Nadi. Tidak lupa Nadi ucapkan selamat natal.
Usai mandi dan melahap sepiring mie goreng, lengkap dengan kamera disandingkan di leher, Nadi berangkat ke gereja. Dion, keponakan Santo yang dalam beberapa hari ini menjadi akrab dengan Nadi karena sama-sama menginap di rumah Maryam, berceloteh sepanjang jalan. Ia bercerita bahwa ia diminta pastor untuk kembali ke Kemangai, tetapi terpaksa menolak karena dirinya sedang ingin berkumpul bersama keluarga besar. Keponakan Santo itu telah lama menjadi asisten pribadi pastor di Kemangai. Usianya lebih muda delapan tahun dari Nadi.
Gereja Santo Fransiskus Asisi terletak tidak jauh dari bukit, yang akan dilewati jika pergi ke rumah Puhtir. Depan gereja merupakan halaman luas yang di sore hari menjadi tempat bermain voli. Gereja ini semua berbahan kayu, dan beberapa bagian sudah tampak lapuk namun masih begitu terawat. Tidak ada sarang laba-laba di sudut-sudut. Tidak ada setitik cahaya pun menyelinap lewat atap. Semua orang Sakai memenuhi bangku-bangku panjang gereja. Anak-anak masih bersenda gurau, hingga orang tua mereka melotot agar duduk diam. Nadi, dengan bekal kamera, bebas berkeliaran, bahkan hingga ke podium.
Misa dimulai ketika matahari tidak lagi ditutupi bukit. Diakon memimpin misa. Pastor tidak datang karena memimpin misa di Kemangai. Para pendeta juga kebagian tugas di tempat lain. Isi ceramah tentang cinta kasih dan pengorbanan Yesus yang tanpa pandang bulu.
“Kita tidak pernah menjadi sempurna. Kita sering terperosok pada lubang yang kita buat sendiri, dan kita lebih kerap melanggar aturan yang dibuat Tuhan dari pada menaatinya. Jika kita tidak mau keluar dari lubang tersebut, maka dosa itu akan terus kekal, berputar seperti roda. Kematian nantinya hanyalah kekosongan. Kesesatan. Tetapi, Yesus datang sebagai gembala yang baik. Ia tidak berkata, ‘Sudah, tidak apa-apa, aku memaafkanmu.’ Jika seperti itu, tentu kita tidak pernah belajar tentang keadilan. Apapun kesalahan kita, kita harus menerima risikonya. Kita harus mempertanggungjawabkannya. Kita harus lebih merenungi bahwa apa yang dilakukan Yesus bukan tentang pengorbanannya, tetapi tentang cinta kasihnya. Ia bersedia memberikan nyawanya demi keselamatan umat manusia. Dan apa yang telah kita lakukan? Tindakan kita mungkin tidak pernah dapat dibandingkan dengan tindakan Yesus. Cinta yang besar hanya ada pada dirinya. Namun, setidaknya kita juga harus punya usaha untuk keluar dari lubang. Tidak hanya menunggu tali disodorkan. Tidak hanya meratapi. Rahmat kasih sayang Yesus telah diberikan kepada kita, dan sudah sewajibnya kita ikut menebar benih cinta kasihNya.”
Usai misa, Nadi menjelma menjadi fotografer keluarga. Hampir semua keluarga di Sakai masuk ke dalam bingkai kameranya. Ia katakan pada mereka, jika nanti ke Sakai lagi, foto-foto mereka akan dicetak dan dibagikan kepada mereka. Tentu mereka sangat senang. Kepada gadis-gadis, ia mencoba bergurau, “Itu ada bekas makanan di gigi.” Gadis-gadis dengan rias berlebih itu akan memeriksa giginya dan lantas mengomel-ngomel sudah dibohongi.
Dekat tengah hari, baru Nadi terbebas dari pekerjaan dadakannya.
Di rumah, ketika sedang memeriksa hasil jepretan, tersadar Nadi bahwa Puhtir tidak datang ke gereja. Ia tahu sejak ekspedisi bahwa Puhtir dan Nek Ga menganut kepercayaan Kaharingan, tetapi tetap saja, di hari Natal ini, hal itu menarik perhatiannya. Jika seorang Nek Ga masih menganut kepercayaan kaharingan, Nadi tidak akan heran. Tidak sedikit orang tua yang lebih mempertahankan kepercayaan lama. Tetapi, Puhtir, seorang generasi baru, yang hanya lebih muda beberapa tahun darinya, tidak berkeyakinan sesuai yang dipakemkan pemerintah?
Nadi tidak sedang berusaha menghakimi. Ia selalu berusaha menghormati apapun jenis keyakinan, bahkan seandainya dia seorang atheis, agnostik, atau apapun itu. Namun, ah, entah, Nadi merasa perlu bertanya soal ini.
Saat acara makan setelah misa gereja, Nadi menghadap Santo, “Bagaimana seseorang dapat dikatakan Kaharingan?”