Saat bertemu Puhtir siang harinya, Nadi masih terlena dalam tanya-jawab tentang Kaharingan. Ia tanyai juga Puhtir, dan bersama Puhtir ia merasa lebih terbuka. Tidak ada kecanggungan baginya untuk menanyakan hal yang menurut sebagian orang terlalu sensitif untuk dibahas. Bersama Puhtir, batas kecanggungan sudah memudar.
“Kau mau jadi Kaharingan?” Puhtir bertanya balik setelah Nadi bertanya.
“Kutanyakan hal yang sama ke Pak Santo dan dia menjawab sepertimu. Apakah bertanya selalu berarti ‘mau menjadi’? Kalau orang bertanya harga barang, apa harus selalu kemudian dia membeli?” jawab Nadi kesal.
“Mengapa jadi marah-marah begitu? Huh, Aku pun tidak tahu bagaimana. Aku dilahirkan sudah begini. Aku tidak menolak Katolik. Tapi, untuk diriku sendiri, aku merasa nyaman tanpa harus dibaptis.”
“Kolimoi, Tahtum, itu juga Kaharingan?”
“Saat kecil, aku percaya pada cerita-cerita Nek Ga, pada Kolimoi, pada Tahtum. Kamu bisa saja bilang kalau Kolimoi hanya dongeng, sama seperti dongeng lain, sama seperti Malin Kundang…”
“Aku tidak pernah bilang begitu. Justru kubilang ketika di seminar, Kolimoi tampaknya pernah menjadi kitab suci bagi orang Uud Danum dulu.”
“Seandainya kamu bilang begitu. Jangan marah begitu. Yang ingin kukatakan, Kolimoi membantuku menemukan keyakinan. Aku tidak tahu apakah Sengalang, Songumang, Puhtir, memang ada. Tetapi dari Kolimoi aku belajar mengenal Tuhan.”
Ah, dari Kolimoi aku belajar tentang Tuhan. Nadi senang dengan kalimat itu. Ia mengangguk-angguk kecil.
“Dengan Kolimoi aku merasa terhubung dengan ibu bapakku.” Jeda sejenak, lalu Puhtir melanjutkan, “Ibu pandai ngolimoi. Suaranya lebih bagus dari siapapun pongolimoi yang kutahu. Setiap ia ngolimoi, aku dapat merasakan semua benda menjadi hidup. Hutan, sungai, angin, tanah, rumah. Mereka semua menemaniku mendengar Kolimoi. Aku tidak tahu apakah hanya aku saja yang merasa seperti itu atau memang Kolimoi bisa membuat orang seperti itu atau aku begitu karena ibuku yang ngolimoi.”
Teringat oleh Nadi keheningan di malam Nek Ga sedang ngolimoi. Teringat juga, ketika di Soban, Kolimoi Nek Murai yang serupa rentetan kalimat dan irama saja, terasa tidak bermakna.
“Lama-lama kusadari bahwa Kolimoi tidak hanya menghubungkanku dengan ibuku, tetapi dengan semua benda, yang hidup maupun mati, yang masih ada maupun yang telah pergi.”
Jawaban ini membuat Nadi tertegun. Dari istri Benediktus, Nadi pernah mendengar bahwa Puhtir sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Kala itu, kedua orang tuanya merantau ke Sarawak, menjadi buruh. Puhtir dititipkan kepada ibu dari ibunya, Nek Ga. Dua tahun, semua berjalan baik-baik saja. Kebutuhan ekonomi tercukupi, orang tuanya pulang setahun dua kali, dan Puhtir tidak kekurangan kasih sayang. Hingga kemudian, sakit parah menyerang si Ibu saat masih di Sarawak. Tubuhnya menjadi kuning, matanya kuning. Sempat bertahan sebulan, napas terakhir akhirnya dihela. Ia dimakamkan di Malaysia. Seumur hidup, Puhtir belum pernah mengunjungi makam itu.
Begitu pula bapak Puhtir. Kematian istrinya memukul telak lelaki itu. Konon, si bapak beritikad untuk kembali ke kampung saja, mengasuh anak perempuan mereka yang beranjak gadis. Sebelum itu, si bapak berusaha untuk mengumpulkan uang lebih banyak, agar bisa menjadi modal usaha di kampung. Maka, pergilah ia ikut kapal barang ke Tiongkok, menjadi anak buah kapal yang bekerja siang malam. Kelelahan, daya tahan tubuh si bapak ambruk. Penyakit kuning yang ditulari istrinya mengambil alih badan, dan itikad untuk kembali ke Sakai tidak pernah terjadi. Kematian si bapak diketahui setahun kemudian, setelah seorang kawannya datang ke Sakai. Puhtir sedang bersekolah di SMP Kemangai kala itu.
“Kau merindukan mereka?,” tanya Nadi. Rasa pilu merayapi degup jantung Nadi.
“Siapa?”
“Orang tuamu.”
Puhtir menatap Nadi. “Kenapa melihatku seperti itu? Tidak apa. Aku merindukan mereka, tapi tidak perlu menangis, kan?”
Nadi tersenyum tulus. Ketegaran gadis di hadapannya ini hanya bisa disaingi oleh karang yang tetap teguh walau dihantam berkali-kali oleh ombak. Ia bersyukur bisa mengenal perempuan ini. Semua sembilu masa kecil tidak meremukkannya, justru membuatnya menjadi sosok yang tidak mungkin tidak dikagumi siapapun. Lihatlah, bahkan tidak ada raut sedih di wajahnya.