Namanya juga ritual, ada saja hal-hal magis yang terjadi. Benediktus kesurupan sesudah patung toras didirikan. Ia berteriak-teriak, lari ke dalam kamar, lalu mendadak menangis. Nek Ga menuntunnya ke ruang tengah, tempat babi masih digantung. Benediktus didudukkan, kepalanya diusap-usap, dan Nek Ga mengajaknya bicara dalam bahasa Sengiang. Tetapi, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Benediktus atau siapapun yang merasukinya. Hampir setengah jam Benediktus kesurupan, kemudian, setelah tangisnya mereda, Benediktus tersenyum. Tersenyum pada setiap orang yang memerhatikannya. Lantas ia tak sadarkan diri.
Orang-orang percaya arwah yang merasuki Benediktus adalah arwah yang diutus orang tua keluarga Santo. Ia diutus untuk menyampaikan terima kasih. Lambat laun, suasana diisi oleh kenangan terhadap orang tua mereka. Beberapa saudari Santo dan Benediktus menangis. Mereka memang telah rela orang tua mereka harus berpulang, tetapi kerinduan bukanlah sesuatu yang mudah diabaikan.
Beberapa tamu juga kesurupan. Ada yang maunya terjun ke sungai. Ada yang marah-marah tetapi sambil tertawa. Ada yang berpolah seperti babi, hanya mau berkubang di lumpur. Nek Ga dan Nek Tohkai cukup kerepotan meladeni serangan kesurupan ini. Hingga Nek Ga, terpaksa berputar-putar di silat, menjadikan dirinya perantara roh halus dengan menegak darah ayam hidup –yang lehernya dipelintir dengan gerakan dahsyat dan hampir mustahil dilakukan oleh orang tua seperti Nek Ga dalam kondisi normal-. Usai upaya Nek Ga tersebut, kesurupan demi kesurupan mulai mereda.
Santo lebih banyak termenung selama Dalok. Ia merenungi bukan hanya kenangan-kenangan terhadap orang tuanya, bukan hanya masa lalu yang indah-indah, tetapi juga masa depan. Orang tuanya pernah berpesan agar ladang mereka tetap digarap dan hutan sekitarnya harus dihormati sebagai tangan Tuhan pembawa rezeki. Santo menyadari, begitu sulitnya mempertahankan amanah itu sekarang. Hanya ada Benediktus yang bermukim di Sakai, dan adiknya itu kadang ogah-ogahan menggarap ladang. Sementara semua saudarinya, setelah Dalok ini, akan kembali ke kehidupan di luar desa sana. Dan hutan, ah, berapa orang yang kini peduli terhadapnya. Ia bisa saja beranggapan bahwa musuh terberatnya adalah konsesi perkebunan sawit. Tetapi, penyakit tidak selalu tampak.
Ia sadar sekarang. Yang ada di dalam tubuh sendiri adalah yang paling berbahaya. Orang-orang ini, sahabat-sahabat sekampungnya, orang-orang desa, apakah sepenuhnya mereka seperjuangan dengannya? Jangan-jangan ada di antara mereka yang sudah tergoda untuk membabat hutan, mencari kekayaan dengan menghabisi semua pepohonan dan hewan-hewannya, tetapi berkata manis tentang hutan yang asri di hadapan siapa saja. Santo tahu belang itu ada, tetapi ia merasa harus selalu berpikir teguh. Sementara ini, ia bersyukur bahwa Dalok bisa berjalan sampai selesai, tanpa adanya hambatan yang serius.
Di luar kesurupan Benediktus dan perenungan mendalam Santo, Dalok juga menjadi ajang canda dan lelucon.
Contohnya, si Rupung. Selain berkisah, dia punya keahlian lain; memahat. Patung sopunduk kali ini pun ia yang memahat. Sopunduk pahatannya kali ini adalah patung manusia yang sedang menggendong keranjang. Di bawah manusia, tempayan. Di bawahnya lagi, motif anjing dan burung. Paling bawah, terpatri namanya. Rupung P, juga tanggal pembuatan.
Nadi mewawancarai Rupung soal pahatan patungnya (begitulah yang dilakukan Nadi selama Dalok. Berusaha mencatat, menukil, merekam, memotret. Ia tanyai banyak orang, tentang ritual apa ini, maksudnya apa, benda apa ini). Rupung dengan senang hati menjawab semua pertanyaan Nadi.
“Bagaimana Pak Rupung awalnya bisa memahat belajar dengan siapa?” tanya Nadi ketika itu.