Nadi tidak lepas dari bertingkah bodoh. Ia memang tidak pernah minum kelewatan, namun tetap saja, tidak dapat terhindar dari bertingkah konyol. Lebih tepatnya mungkin, ketiban sial.
Pada malam ketika Rupung berkelahi dan telah dilerai, pusat Dalok dipindah ke halaman depan rumah, suara gong dan kotambung terdengar lebih meriah. Bertalu-talu, bertumpang-tindih. Itu menandakan akan ada nganjan. Sudah puluhan orang mulai menari, berputar-putar seperti gasing yang lambat. Malam sangat gelap. Hanya mendung yang ada. Bintang dan bulan, tidak berniat menampakkan diri. Gerakan mereka hanya diterangi lampu teras rumah Benediktus. Itu pun samar-samar.
Nadi tengah menikmati gorengan di rumah Maryam ketika sadar bahwa ia harus memotret prosesi nganjan itu. Di lain waktu nanti, ketika ia bercerita tentang hal ini, ia tidak dapat mengingat apakah sedang di bawah pengaruh minuman atau sedang berakal sehat. Ia tidak dapat ingat apakah ia memakan gorengan sembari menyeruput arak atau menyeruput kopi. Yang ia ingat, ia menuruni tangga tanpa menghiraukan keberadaan sandal. Ia tergesa-gesa, dan tidak peduli di mana sandalnya. Apakah di bawah kolong, di atas teras, atau dibawa kabur anjing. Ia terus berlari dengan kaki telanjang.
Sampai di halaman, segera Nadi jepret sana jepret sini. Dongkol hatinya karena cahaya begitu samar. Redup. Sama sekali lampu teras rumah Benediktus tidak membantu. Hendak diapakan pun kamera, dengan ISO yang paling tinggi sekalipun, dengan bukaan lensa kecepatan rendah, nyaris tak ada guna. Teringat olehnya di rumah Maryam ada senter besar yang biasa digunakan untuk mengemudi sampan di kala malam. Bergegas ia mengambilnya.
Halaman lalu ia senteri. Tarian masih berlangsung. Nganjan kali ini adalah nganjan terakhir di malam hari. Esok tiada lagi, sebab sudah puncak Dalok. Maka, ini satu-satunya kesempatan. Lantas Nadi mencari-cari tempat untuk menaruh senter besar. Ia arahkan senter kemana saja. Terlihat sekilas, tidak terlalu jelas, sebuah pohon tumbang tidak jauh dari halaman, tergeletak sepuluh langkah dari lingkaran penari. Tergesa-gesa Nadi berlari, lalu melompat ke batang pohon itu dengan gerakan atlet lompat jauh. Kedua kaki sekaligus mendarat.
Dalam detik itu juga ia berguling-guling di tanah. Pekiknya tertahan di tenggorokan. Senter terhempas. Kamera, entah terlempar kemana. Telapak kaki Nadi basah oleh cairan hangat. Ada sesuatu di atas bangkai pohon. Entah apa itu. Ia tidak dapat menebak sebab tidak dapat melihat apa-apa karena gelap. Rasa sakit yang begitu menusuk, ia lampiaskan dengan pukulan berkali-kali ke tanah dan erangan yang tertahan.
Beberapa orang yang sedang nganjan menyadari sosok Nadi yang terguling-guling. Segera mereka mengerumuninya. Seseorang mengambil senter dan menerangi Nadi. Nadi menunjuk-nunjuk ke arah kaki. Seseorang berteriak, meminta siapkan air hangat. Nadi lalu diangkat seperti sebatang kayu bekas. Mereka membawanya ke teras rumah Benediktus.
Kaki Nadi diluruskan. Nadi memaksa duduk. Perlahan-lahan, jalaran rasa sakit mereda. Nadi harus tahu apa yang menjadikannya tumbang. Ia dapati telapak kakinya, kanan dan kiri berdarah, dan berlubang, berlubang, berlubang, berlubang, berlubang, berlubang.
“Pokok kapuk dipijaknya! Tak pakai sandal dia!” terdengar seseorang memekik.
Nadi tidak mengetahui apa itu pokok kapuk. Seseorang mencuci kakinya, membersihkannya dari darah. Ia lihat lagi telapak kaki dengan bantuan senter agar lebih jelas. Lubang, lubang, lubang, lubang. Di kanan, ada enam lubang. Di kiri, ada lima. Serupa daun yang dicelomoti ulat-ulat.