DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #33

Gairah dan Amarah #33

Dalam puncak Dalok, panggung di depan rumah begitu penuh. Lagu disco dangdut diputar berulang kali. Speaker yang dipasang di sudut atas panggung terdengar pecah dan cempreng. Namun, siapa yang peduli. Semua tenggelam dalam euforia tuak dan joget. Ritual Dalok yang begitu terkesan sakral dan mistis, menjelma hura-hura dan pesta pora.

Isabelaaaa..ha ah.. Isabelaaa, kau pujaan hati…” raung pengeras suara.

Nadi memutuskan untuk memotret kerumunan dari atas. Untuk itu, ia harus memanjat tiang penyangga panggung. Tidak mudah melakukannya. Efek tuak, arak mulai menerjang, menjadikannya limbung. Belum lagi sakit di telapak kaki masih terasa berdenyut. Tetapi tetap ia memaksa. Kamera disandingkannya ke belakang sehingga kedua tangan dapat lebih mudah menjangkau sedepa demi sedepa tiang panggung. Di bagian tiang paling atas, terdapat cabang yang menyangga terpal yang berfungsi sebagai atap. Di sanalah ia akan bertengger, menyaksikan dengan leluasa panggung sebesar lapangan voli yang dipenuhi muda-mudi, sekaligus tua bangka, berjoget ria.

Puncak sudah dicapai. Nadi menarik napas lega. Ia pun mulai memotret. Beberapa orang menyadari keberadaan Nadi dan mereka berteriak-teriak meminta difoto. Nadi turuti. 

Dari bingkai kamera, di sudut terjauh, ia lihat Puhtir masuk ke arena, tersenyum manis pada setiap orang, dan setiap orang lantas mencoba mengajaknya berjoget. Puhtir lalu ikut menari. Hanya perlu waktu sebentar saja, kerumunan orang-orang yang sebelumnya berjoget sendiri-sendiri dengan gaya sembrono dan cenderung kalang kabut, mengitarinya. Orang-orang bertepuk tangan, bersiul-siul, dan bergantian menjadi pasangan Puhtir menari. Tangan Puhtir meliuk-liuk, serupa bunga yang bergoyang menuruti kemauan angin. Kakinya kadang menyeret, kadang melompat kecil, kadang menghempas. Pemandangan itu membuat darah Nadi berdesir. Jantungnya terpompa lebih cepat.

Puhtir melihat Nadi, dan gadis itu memberinya isyarat agar Nadi turun. Tergopoh-gopoh Nadi lalu menuruni tiang.

“Simpanlah dulu kameramu. Malam ini suka-suka saja,” pekik Puhtir sambil berjalan menghampiri Nadi. Nadi tidak membantah. Ia turun dengan terburu-buru dan berlari berjinjit menahan sakit telapak kaki ke rumah Maryam, menggantung kamera, lalu kembali ke panggung.

Mereka kemudian berjoget bersama. Minum tiada henti pula. Semakin malam, semakin ramai. Panggung terasa menjadi sangat kecil. Sekadar untuk berbalik badan, menjadi sulit.

Dalam keramaian tersebut, dalam himpitan-himpitan dan bau keringat, Nadi dan Puhtir saling berhadapan. Dorong sana-sini membuat tubuh mereka terpaksa beberapa kali bertubrukan. Dan, sekali waktu, hidung Nadi membentur kening Puhtir. Puhtir memasang wajah terkejut, lalu tertawa. Dipencet-pencetnya hidung Nadi. Nadi gelagapan.

Orang yang berjoget semakin ramai. Penuh sesak. Gerakan semakin linglung. Dorongan semakin sering. Tubuh Nadi dan Puhtir semakin kerap berhimpit. Puhtir terus menari seolah memang ia dilahirkan untuk berlenggak-lenggok. Nadi mencoba menari segemulai mungkin, namun selalu gagal. Usaha Nadi membuat Puhtir tertawa, dan lama-kelamaan, tawanya perlahan redup. Puhtir menatap Nadi terus menerus. Nadi berupaya balas menatap. Nadi lebih tinggi sejengkal dari Puhtir, hingga Nadi harus sedikit menunduk dan Puhtir sedikit mendongak ketika mereka saling berhadapan.

Bibir Puhtir basah. Jenjang lehernya berpeluh. Rambutnya tergerai berantakan. Matanya menatap Nadi, seolah ingin menarik Nadi ke dalam cengkraman yang buas.

Tubuh mereka semakin berhimpit, bahkan tiada berjarak. Darah mengalir deras dalam diri Nadi. Jantungnya bergemuruh memukuli dada. Gairah kelaki-lakiannya memenuhi saraf hingga ke sudut terkecil. Kepalanya terasa begitu berat, tetap ia paksakan tetap membalas tatapan Puhtir, dan akhirnya menyerah.

Ia memejamkan mata, berusaha menyentak-menolak segala hasrat. Dengan gerakan cepat yang dimaksudkan menghalau segala keraguan: tangan Puhtir ia genggam, lalu dilepaskan, berbalik badan, dan pergi meninggalkan Puhtir. Meninggalkan panggung.

Ia rasai punggungnya dihunjami pandangan Puhtir. Setengah diri Nadi menyuruh untuk kembali. Setengah lagi menariknya keras-keras untuk pergi, dan berkata, “Tidak malu kau? Menarik dirinya dalam keadaan mabuk. Itu pelecehan. Tidak kau batasi dirimu. Lelaki lancang. Tak tahu adat. Apa bedanya kau dengan pemuda setengah mabuk di sana, berjudi kolok-kolok semalaman dengan mulut berbau arak, lantas menyumpah serapah akan mengawini semua perempuan.”

Nadi terus berjalan. Tidak kembali ke rumah Maryam, namun ke arah sebaliknya.

Ada sebuah tenda warung. Tidak ada seorang pembeli pun. Semua orang sepertinya sedang berada di atas panggung. Nadi hempaskan diri di bangku warung itu.

Lihat selengkapnya