Tahun baru, di mana pun selalu marak, juga di Sakai. Meski tiada kembang api, tiada konser band, kesemarakan itu tiada juga berkurang. Warung-warung dadakan belum lagi tutup meski dalok telah selesai.
Lalu, satu minggu setelah tahun baru, satu per satu orang kembali ke kota. Sakai kembali seperti sedia kala. Sunyi, sepi. Keluarga Santo sebagian sudah pergi, tetapi Santo memilih bertahan dua hari lagi. Tidak ada pekerjaan yang dikejar di Pontianak. Ia toh sudah pensiun. Istrinya juga tidak menolak untuk menginap dua malam lagi.
Begitu pula Nadi. Ia bahkan sebenarnya sama sekali tidak ingin kembali ke kota dalam segera. Hati kecilnya mengatakan untuk menetap setidaknya sebulan lagi. Bila tidak ingat pekerjaan lain yang menunggu, barangkali niatan itu akan terjadi. Nadi putuskan untuk ikut pulang ke Pontianak bersama Santo dua hari kemudian. Keputusan itu diambil dengan desah napas yang berat.
Apalagi alasan keberatannya kalau bukan karena Puhtir. Sarang asmara sudah menjeratnya, dan Nadi lebih memilih untuk menyerah, menggelepar di dalam sarang, ketimbang harus melawan. Ia ingin lebih lama bersama Puhtir.
Ia bukannya tidak pernah terpesona pada perempuan. Bukan sekali dua kali ia bertemu dengan perempuan-perempuan cantik dan memikat. Tetapi, terpesona dan jatuh cinta adalah dua hal yang berbeda. Sebelum Puhtir, tidak pernah hatinya sampai menggelepar. Bandung yang dianggap sebagai sumbernya bidadari, tidak menyisakan kisah asmara pada dirinya. Di pelosok-pelosok, beberapa kali Nadi bertemu dengan gadis-gadis nan memikat dan berkenalan. Di Semberang, Sambas, ada nama Wiwit. Di Mendalam, Kapuas Hulu, ada si cantik Amelia. Di Ketapang, ah, ia lupa namanya. Dan semua sosok itu terlupakan begitu saja ketika Nadi kembali ke Pontianak.
Sementara bersama Puhtir, sejak peristiwa ‘pokok kapuk’, ditambah lagi peristiwa ‘panggung joget’, Nadi menjadi sering melamun tentang sebuah keluarga kecil berbahagia yang tinggal di rumah sederhana di kaki bukit. Hanya sosok Puhtir yang selalu muncul ketika ia membayangkan sosok istri. Istri yang berwajah ketus, tetapi saat tersenyum, itulah berlian sesungguhnya, permata sejati-jatinya.
Hari terakhir di Sakai, hasrat Nadi hanya satu; menghabiskan waktu bersama Puhtir.
Namun sedari pagi perempuan itu tak dapat dijumpai karena masih mengajar. Terpaksa Nadi menunggu. Biasanya, Dion menjadi kawan bercakap di pagi hari, tetapi sekarang ia sudah kembali ke Kemangai, ikut rombongan keluarga yang pulang lebih dulu. Sesekali Nadi bermain dengan Prita anak Maryam, dan Umang, namun lama-kelamaan merasa bosan. Ia berselonjoran, berbaring, merokok, mengopi, semua dengan pikiran hampa.
Sekali waktu, Nadi mengajak Santo berbincang. Ternyata, dalam diri Santo lahir banyak perenungan setelah acara Dalok.
“Jika sawit merajalela di sini, sudah dapat dipastikan, tidak akan ada sisa-sisa kebudayaan Uud Danum lagi di kampung. Orang-orang tidak hanya berubah cara pikirnya, tetapi juga cara hidupnya. Saya, kamu, kita, tidak mungkin menolak perubahan, tetapi sawit besar-besaran adalah pilihan buruk bagi perubahan,” tutur Santo sambil berbaring. Kedua tangannya ditautkan, menjadi bantal bagi kepalanya. Beberapa hari belakangan, Santo terlihat lebih tua dari biasanya. Mungkin karena faktor kelelahan. Mungkin karena renungan-renungan masa depan kampung menggerogoti dirinya.
Nadi hanya mengiyakan. Ia memilih untuk tidak beropini. Lagi pula, kepalanya sedang kosong melompong. Tetapi Nadi merasa perlu mengatakan sesuatu. Sebagai penghiburan, Nadi akhirnya katakan bahwa masih banyak orang yang mau hutan dan ladang mereka bertahan. Masih banyak.