Nek Ga datang dengan membawa beberapa mangkuk berisi lauk pauk. Puhtir dan Nadi membantunya menyusun sajian siang itu di lantai. Kali itu, mereka bertiga makan bersama. Tak ada tuan rumah, tak ada tamu. Berkali-kali Nek Ga berkata, “Tambah lagi, Nak”, dan berkali-kali juga Nadi menjawab, “Sudah, Nek. Sudah cukup”.
Makan siang usai, dan Nek Ga pamit untuk ke rumah tetangga. Tinggal Nadi berduaan dengan Puhtir.
“Berapa lama kamu membuat ini?” tanya Nadi menunjuk ke takui darok. Ia berusaha untuk mencari bahan percakapan.
“Ke mana kau di malam itu?” Sontak saja, tanpa isyarat, tanpa aba-aba, Puhtir memasang raut datar.
“Malam mana?”
Puhtir menjawab dengan hanya menatapnya tajam.
Pertanyaan itu merobek semua rasa tenang yang Nadi bangun. Ia mengira, Puhtir telah lupa dan tidak akan ada lagi pembahasan tentang itu. Sekarang, ia dilanda kebingungan bagaimana harus menjawab.
“Aku, ke warung.”
“Mengapa kau meninggalkanku?”
Pertanyaan itu diucapkan Puhtir agak riang, pelan-pelan, seolah mengajak bercanda. Tetapi, wajahnya tetap datar. Bagi Nadi, pertanyaan itu adalah hunjaman. Tepat sangkil sasaran. Hancur. Mati aku, seru Nadi di dalam hati. Bagaimana menjawab ini. Kepalanya berpikir keras mencari alasan.
“Aku, tidak mau minum lagi, terpaksa aku pergi,” jawab Nadi akhirnya.
“Di warung kau memesan arak. Kau minum lagi.”
“Eh, itu karena ada orang yang mengajak bicara. Kamu mengikutiku?”
“Oh. Jadi, setelah kau tinggalkan, aku harus menari sendirian?”