Ruko itu terdiri dari dua lantai. Terlihat belum lama rampung. Masih bau cat. Masih ada bekas cat yang menempel di siku-siku pertemuan antara lantai dan dinding. Banyak debu yang belum tersapu. Kaca-kaca jendela pun masih bertandakan angka. Kemungkinan orang-orang ini tidak berniat tinggal di ruko ini untuk waktu yang lama, pikir Santo. Tidak ada bukti mereka peduli pada kebersihan ruangan.
Santo dibawa naik ke lantai dua. Terdapat sebuah ruangan yang tertutup rapat. Ia dipersilakan masuk. Para pengawalnya tidak turut serta. Hanya Santo seorang.
Ruangan ini terlihat lebih beradab dibanding luarnya. Cukup bersih. Ada karpet yang terhampar dan ada pendingin ruangan. Dindingnya berwarna krem, polos tanpa aksesoris apapun.
Di dalam ruangan, Santo jumpai dua orang. Keduanya duduk di belakang meja dan ketika Santo melangkah masuk, keduanya segera berdiri dan menyalami Santo. Mereka tersenyum dengan kehangatan. Santo membalas senyuman mereka sambil menerka-nerka, pernahkah ia bertemu dengan mereka sebelumnya.
Mereka, dua orang itu, jelas masing-masing terpaut usia yang berbeda, seperti bapak dan anak. Yang tertua, rambutnya hampir putih semua, menggunakan kemeja digulung dan celana jeans. Yang muda, lebih formal. Kemeja lengan panjang dan celana hitam kain.
Santo dipersilakan duduk di hadapan yang tertua, yang segera memperkenalkan diri. Namanya Roland. Santo pernah mendengar atau membaca nama tersebut. Yang termuda, Budi.
Roland terkesan santai, sementara Budi tampak sekali sikap kikuknya. Roland memperjelas siapa mereka, “Kami dari PT. S.”
“Sudah dari awal kupikir itu memang kalian,” tutur Santo tanpa ada ekspresi terkejut. Pikirannya masih menerka-nerka, di mana atau kapan ia mendengar nama Roland. Roland, ah, ya, namanya pernah disebut oleh bupati. Tahun lalu saat bertemu Bupati. Bupati meminta Santo untuk menemui seseorang bernama Roland supaya membahas tentang perkara lahan. Pertemuan itu tentu tidak kunjung terjadi. Santo berpendapat, bukan ia yang harus mencari, melainkan perusahaan harus mencarinya. Yang membuat salah siapa? Dan sekarang, mereka akhirnya bertemu. Perusahaan benar-benar mencarinya, meski seolah ia yang mendatangi mereka. Aih, penculikan yang licik. Demi gengsi dan harga diri.
Roland tersenyum lebar. Santo memperbaiki duduknya. Nah, mari, sekarang kita berhadap-hadapan layaknya ayam jantan yang hendak diadu.
“Sebuah kehormatan Pak Santo mau langsung datang ke kantor kami,” ujar Roland. Santo tertawa. Hahaha.
“Saya belum habiskan kopi saat anak buahmu culik saya. Kalau tidak keberatan, satu gelas cukup. Kantor ini pasti punya kopi kan?” balas Santo setelah reda tawa yang dibuat-buat.
“Bukan menculik, Pak. Terpaksa kami sedikit paksa Bapak ke sini karena Bapak sangat susah ditemui,” ujar Roland, lalu meminta Budi memenuhi permintaan Santo akan segelas kopi.
“Tidak susah mencari saya. Di Pontianak, kalau tidak di rumah, ya di kebun.”
Tidak ada jawaban.
“Jadi, apa yang perlu kita perbincangkan?” tanya Santo.
Roland seolah tidak mendengar, “Bagaimana kabar, Pak?”