Ada peristiwa yang tidak bisa dilepaskan dari memori Amai Siung maupun Rupung.
Namanya juga orang suruhan, ikut kata bos saja. Suatu hari, bos menyuruh Amai Siung dan beberapa orang Melayu menebang pohon di kawasan dekat pemukiman Iban, sedangkan Rupung sendiri tengah memiliki urusan lain.
Amai Siung tidak tahu bahwa pemukiman itu begitu dekatnya dengan lokasi ia menebang, hingga suara mesin potongnya dapat terdengar ke telinga penduduk. Mungkin lantai rumah panjang juga mendengarnya. Mungkin pedarak, jimat adat, yang biasanya dipasang orang Iban di langit-langit rumah juga mendengarnya. Yang jelas, itu menjadi hari buruk.
Belum selesai Amai Siung menumbangkan sebatang pohon, orang-orang Iban sudah mendatanginya dengan mangacungkan mandau. Ia jelaskan pada orang-orang itu bahwa ia hanya suruhan, tidak tahu kalau pohon yang ditebangnya itu masuk hutan adat kampung. Tapi, percakapan mereka tidak saling bersambungan. Amai Siung dan orang-orang Melayu yang menemaninya, tidak bisa berbahasa Iban, sedangkan orang-orang Iban itu tidak bisa berbahasa lain. Amai Siung mencoba bercakap dalam bahasa Uud Danum. Orang melayu menjelaskan dalam bahasa Melayu. Orang Iban membalas dalam bahasa Iban. Yang satu menjadi minyak. Yang satu menjadi air. Saling menyalak saja.
Pun, seandainya orang-orang Iban mengerti penjelasan Amai Siung, tampaknya mereka tetap tidak akan ambil peduli. Pohon sudah dibabat dan siapa yang bisa mencegah kobaran api kemarahan?
Beruntung mandau belum sempat terayun. Beruntung tuai rumah Iban, pemimpin rumah panjang, masih bisa bersabar, dan Amai Siung beserta beberapa kawannya digiring ke rumah panjang. Mereka ditahan. Satu orang dilepaskan untuk memanggil bos. Tapi si bos menghilang. Amai Siung dan kawan-kawannya berada dalam ketidakpastian nasib. Salah seorang kawan Amai Siung malah menangis, dan air matanya yang jatuh di lantai dijilati oleh anjing-anjing kampung.
Uh, sungguh nasib yang sial. Amai Siung sendiri hanya bisa berdoa, dengan berbagai macam doa yang bisa ia ingat; kidung-kidung gerejawi, mantra-mantra Uud Danum, dan doa berbahasa Arab (kawannya yang Melayu pernah mengajarkannya doa sebelum makan dan Amai cukup hapal karena sering mendengar). Kawan-kawan Melayunya juga ikut berdoa dan mendadak saja mereka lancar merapal Al-Fatihah.
Persahabatan sering menemukan caranya sendiri untuk selalu bertalian.
Urusan Rupung adalah mengantar barang ke perbatasan dan biasanya, ia akan menginap di daerah Badau bermalam-malam. Tapi, tidak kali ini. Ada dorongan dalam dirinya untuk kembali segera ke pos sehingga, setelah menurunkan semua muatan, Rupung mengegas truknya kembali. Perempuan-perempuan di Badau memanggilnya tetapi hatinya sedang begitu teguh.
Jalanan ke perbatasan penuh dengan lumpur. Bagi siapapun yang tidak berhati-hati, akan terperosok ke lubang yang dalam, ban tenggelam di lumpur, atau melompat ke jurang. Perjalanan Rupung cukup lancar meski ia cukup mengebut. Setengah hari kemudian, menjelang pergantian malam ke esok hari, Rupung sudah berada di pos, di Lanjak.