DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #41

Jurus Maut Rupung #41

Satu dua kalimat bermunculan dari mulut Rupung seakan ditiup angin surga. Satu per satu orang-orang datang mengerumuni Rupung dan tuai rumah. Rumah panjang mendadak hening. Urusan pagi seakan tak penting. Tuai rumah terhanyut begitu mendengar kisah Rupung, bagai daun yang tak berdaya diombang-ambing geliat sungai. Beberapa pemuda, ibu-ibu, gadis-gadis, mencerna setiap bagian ceritanya, bagai kumbang yang menikmati jambu yang tengah merah matang.

Isi cerita Rupung:

Ia pernah di kampung Iban selama hampir setahun. Kala itu, ia masih tampan dan muda. Asal musabab keberadaannya di kampung yang tidak jauh dari Sungai Utik itu adalah karena di suatu hari Rupung menolong anjing yang sedang sekarat terjepit di sela bebatuan besar, yang dijumpainya waktu bertualang. Masa muda adalah masa pertualangan, dan Rupung senang berjalan tanpa arah tujuan. Ia pernah mampir di kampung orang Kayaan, orang Ahe, orang Tamambaloh, orang Bunut. Pertualangan selalu melahirkan cerita baru, dan Rupung senang jika ceritanya punya banyak warna.

Setelah menolong si anjing, Rupung mencari pemiliknya. Ia melihat rumah panjang tidak jauh dari tempat anjing mengerang, datang ke sana, dan menanyai siapa pemilik anjing ini. Seorang gadis yang belia, itulah pemiliknya. Jiwa muda Rupung berdesir saat menatapnya. Mereka bercakap dalam bahasa isyarat sebab Rupung belum mengerti bahasa Iban. Ketika orang tua gadis mengisyaratkan untuk menginap, cepat Rupung mengangguk-angguk.

Niatnya hanya bermalam sehari, namun setelah satu minggu, Rupung memutuskan untuk berhenti berpetualang dulu. Di kampung itu, ia disambut bagai keluarga yang sudah lama pergi. Rupung dijamu bagai raja. Berbagai buah dan daging disuguhkan padanya tanpa sungkan. Rupung senang, tapi ia tahu diri. Ia membantu orang-orang berladang, mencari kayu bakar, bertukang. Apa saja yang bisa ia bantu, ia lakukan. Perilaku Rupung membuatnya mudah disenangi semua orang. Bila ada yang bertanya kapan ia akan pergi, maka yang lain akan menjawab mewakili Rupung, “Jangan dulu!”

Hari demi hari, Rupung menjadi fasih bahasa Iban. Ia juga belajar merajah tubuh. Orang Iban suka berpantang, bertato, sedangkan yang pandai menato tidak banyak. Yang bisa, sudah tua-tua, dan mereka sering tidak tepat menyusuri garis motif ketika jarum dihunjamkan. Akibatnya, tato menjadi miring, berbelok-belok. Tentu yang ditato kesal. Sudahlah sakit, hasilnya berantakan.

Segera saja Rupung menjadi seniman tato yang diidolakan. Hampir tiap pekan ada permintaan kepadanya. Rupung dengan senang hati memenuhi permintaan mereka. Bagi orang lain, menato terlihat sulit. Tapi tidak bagi Rupung. Sudah pada dasarnya ia lahir dengan balutan jiwa seni, maka tato menjadi perkara yang ia kuasai hanya dalam dua minggu. Ia segera paham cara membuat tinta. Dengan air tebu dicampur jelaga. Ia lihai pula menggambar motif, hingga menetak (Merajah dengan memukul ujung kayu yang pada ujung kayu tersebut diikat beberapa jarum). Dalam sebulan, kemampuannya sudah masuk dalam kategori mahir.

Rupung juga belajar timang, bercerita dalam bahasa Iban. Ia juga belajar menari Iban, dan tanpa memerlukan waktu lama, menjadi penganyam yang piawai.

Hampir setahun Rupung di rumah panjang Iban itu, hingga orang lupa bahwa ia adalah orang asing, yang mampir karena menolong anjing. Rupung pun tampak begitu kerasan. Sampai pada suatu hari, gadis pemilik anjing yang menjadi alasan pertama dan utamanya betah di rumah panjang, dilamar orang.

Sebelum upacara pernikahan berlangsung, Rupung pamit. Ia beralasan dirinya rindu kampung halaman. Orang-orang berpesan agar kembali lagi. Rupung mengiyakan, tetapi tidak pernah berjanji. Ia akhirnya memang tidak pernah kembali.

Lihat selengkapnya