Pagi di Kesange tidak berbeda dengan di Sakai. Kabut menutupi puncak-puncak bukit. Sebelum matahari seutuhnya muncul, orang-orang telah mulai bergerak. Para perempuan menggendong suhkat, tas jalinan rotan untuk membawa parang dan kayu. Sementara para lelaki, membawa pokaluk, tas rotan yang lebih besar ukurannya ketimbang suhkat. Isinya; beras, kopi, gula. Mereka bergerak ke bagian selatan, tempat padi, jagung, sayur mayur, ditanam. Itu satu-satu lahan mereka sekarang setelah sawit membuka bagian di utara.
“Sekarang lagi panen. Sudah seminggu,” jelas Amai Siung kepada Rupung. Mereka telah terbangun oleh pekik-pekik kelempiau nun di kejauhan dan kini duduk di teras dengan kopi dan rokok. Mata mereka memerhatikan kelompok-kelompok orang yang lewat di depan rumah. Istri Amai Siung bergabung dengan sekelompok perempuan.
Namun ada kelompok lain yang bergerak ke utara, ke arah kebun sawit. Amai Siung menjelaskan bahwa setengah dari orang-orang Kesange sekarang bekerja untuk perusahaan sawit. Rupung sudah tahu soal itu. Amai Siung pernah menceritakannya. Ia juga pernah mendengarnya di warung kopi-warung kopi Kemangai. Para pekerja bekerja hingga sore hari, membawa anak-anak mereka turut serta di hari sabtu dan minggu, juga hari-hari lain bila sang orang tua membutuhkan bantuan anak-anak mereka.
Toni merengek pada Rupung untuk ikut anak-anak sebayanya yang bergerak ke utara. Rupung menoleh pada Amai Siung. Sahabatnya itu mengangguk.
“Biar kukawankan kau juga. Ke hutan kau sudah sering. Ke ladang juga. Barangkali kau penasaran apa yang mereka kerjakan di kebun sawit?”
Lekas mereka berkemas dan menyusul rombongan ke kebun sawit.
Di kebun sawit, sementara orang-orang lain memindahkan bibit sawit dari tempat penyemaian, memasukkan pupuk ke dalam karung, memisahkan sawit yang matang dan kelewat matang, Amai Siung dan Rupung bersantai-santai di pondok. Ada pondok yang biasa digunakan para pekerja untuk beristirahat, dan di sanalah mereka sekarang, berteman seteko kopi dan kue-kue kering. Sesekali Amai Siung meneriakkan perintah kepada orang-orang yang lewat di hadapannya, seolah ia adalah mandor. Orang-orang yang diteriakkan, menyahutnya dengan candaan. “Orang tua, duduk saja di sana!”
Toni turut bergabung dengan rombongan anak-anak, namun Rupung mencegahnya agar tidak terlalu bebas. “Mereka sedang bekerja, jangan kau ganggu. Tenang-tenang saja di pondok.”
Dalam beberapa menit, Toni menuruti perintah kakeknya. Lewat dari lima belas menit kemudian, sudah kembali mengacau anak-anak yang sedang bekerja.
Rupung menarik Toni lagi, mengeluarkan handphone, mencari game, dan memberikan handphone tersebut pada Toni. Tanpa banyak bantah seolah disihir, Toni duduk diam di samping kakeknya, duduk khidmat bermain angry bird.
Amai Siung terkekeh. Walaupun ia sudah biasa dengan benda modern seperti itu sebab hampir semua orang di Kesange sekarang punya, ia tetap terkejut. Seorang Rupung, yang tua bangka itu juga punya!.
“Jangan kau terheran seperti itu. Aku tidak meminta benda ini. Anakku, si Boy, bapaknya Toni ini yang membelikannya. Dia dapat borongan besar tahun kemarin. Heh, sekarang, tak susah aku hubungi orang. Aku bisa menelepon orang-orang kalau di Kemangai. Kau juga seharusnya punya.”
Amai Siung terkekeh lagi. Ia utarakan pendapatnya, “Aku tidak benar-benar butuh.”
Amai Siung sering bingung dengan tindak tanduk orang yang menggilai gawai tersebut di kampung. Bagaimanapun kau jungkir balik mencari sinyal, tidak akan ada tanda apa-apa. Amai bisa memaklumi jika orang tersebut adalah orang yang sibuk, sering keluar kampung sehingga memungkinkan gawainya dipakai di luar kampung. Tetapi, berapa jumlah orang yang sibuk di kampung? Cukup jumlah jari di tangan untuk menghitungnya. Sementara yang punya benda itu, lebih dari jari tangan ditambah jari kaki ditambah jari kakak, adik, bapak, ibu, dan istri.
“Eh, ini bisa untuk poto juga!” Rupung merebut gawainya dari Toni. Toni melotot kesal. Si Kakek tidak peduli.
“Kau lihat babi ini! Besar! Kalau tidak ada benda ini, pasti kau bilang aku bohong.” Rupung bersikeras menunjukkan babi hasil jepretannya pada Amai Siung. Amai Siung tidak dapat mengelak untuk terkagum-kagum. Menit selanjutnya, tidak hanya babi yang mereka bahas, melainkan semua foto yang ada.
“Ini foto Jo. Kucing punya Toni. Mati kena diabetes. Toni suka memberinya gula-gula.”
“Aku baru tahu kucing bisa kena diabetes”
“Ini foto Puhtir.”
“Ya, ya”