DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #45

Manusia dan Hutan #45

Saat memori Nadi berputar tentang Puhtir dan Nek Ga, maka ia pun menulis dengan lancar tentang Manusia dan Hutan.

Era terus berubah. Waktu terus bergulir. Masyarakat pelosok, di mana pun jua berada, mulai sering bersentuhan dengan hal-hal baru, nilai-nilai baru. Orang-orang Uud Danum juga begitu. Satu per satu mereka mulai sering bepergian keluar kampung, melihat kota, melihat hiruk-pikuk dunia modern. Intensitas pertemuan dengan orang-orang yang berlatar belakang pendidikan berbeda, kepercayaan berbeda, dan pemikiran berbeda, terjadi. Silang pandangan tidak terhindarkan.

Cara berpikir juga berubah, secara sadar atau tidak, diakui atau tidak. Perubahan cara pandang manusia juga berpengaruh langsung pada alam dan segala isinya. Hutan yang sebelumnya dipandang sebagai pusat, menjadi hanya pelengkap. Lebih pelik, hutan tidak lagi dipandang sebagai bagian dari eksistensi, tetapi objek eksploitasi.

Masalah itu semakin diperbesar dengan datangnya pengaruh luar. Masuknya pengaruh luar melalui penyebaran agama, kolonialisme, transmigrasi, maraknya perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Area Penggunaan Lain (APL), perusahaan perkebunan, diikuti oleh buruh dan karyawan-karyawan pulau lain, telah merombak kehidupan masyarakat pelosok. Tidak semua pengaruh itu buruk. Selalu ada yang bermanfaat. Namun, kondisi yang kasat mata menampakkan bahwa tidak sedikit pengaruh yang tidak peka atau tidak peduli terhadap nilai-nilai yang berhubungan dengan alam. Sekali lagi, alam lebih sering dipandang sebagai objek eksploitasi demi ekonomi. Nilai-nilai religius, budaya, seni, hingga sistem sosial yang disebabkan dengan adanya alam, dianggap gaib.

Banyak kebijakan yang membuat area hutan mudah untuk dibabat. Surat izin penebangan, dibungkus dalam bahasa halus ‘demi pembangunan dan pemerataan’ memperparah merosotnya luas hutan. Beberapa perusahaan konsesi mungkin bergerak sesuai prosedur, tetapi berapa persen jika dibandingkan yang main hajar? Dampaknya, orang-orang lokal ikut-ikutan. Pembalakan liar semakin marak. Penambangan emas ilegal turut marak, menghancurkan kesegaran sungai sebagai penopang kehidupan banyak manusia dan makhluk hidup lainnya. Habis zaman pembalakan, muncul zaman ekspansi perkebunan sawit.

Tahun 1960-an dan seterusnya, merupakan masa hutan mengalami perubahan. Izin HPH bertebaran seperti lalat ketemu bangkai. Hutan terus berkurang. Dampaknya pada masyarakat lokal sangat besar. Berpuluh tahun kemudian, penghasilan petani berkurang hampir empat puluh persen. Dari jumlah itu, dua puluh persen penghasilan berkurang dari sektor kehutanan, dan lainnya berasal dari ladang dan perkebunan yang ditanam di sekitar hutan. Mungkin mereka mendapatkan lembaran uang lebih banyak, tetapi kesejahteraan ternyata tidak melulu soal angka. Hidup mereka semakin hari bergantung pada perusahaan, pada tengkulak. Area perkebunan semakin luas. Masyarakat tidak lagi dapat mengumpulkan hasil hutan, berkebun di celah-celah pohon dalam hutan sekunder, atau memperluas lahan bertani.

Akhirnya, masyarakat menjadi kacung di tanah sendiri. Pola pikir mereka berubah, seiring dengan ketidakberdayaan menghadapi derasnya arus luar. Mereka semakin sering terintimidasi oleh gejala-gejala kapitalis. Pengaruh luar sudah mendarah daging. Dipaksakan oleh keadaan ekonomi maupun pola hidup baru. Mirisnya lagi, dalam segala bentuk kerusakan hutan, sebagian besar mereka menempati posisi terendah, menjadi yang disuruh, bukan pesuruh. Dalam pembalakan liar, mereka menjadi penebang, bukan yang punya modal. Dalam perburuan satwa, mereka pemburu, bukan otak kriminal. Jika ada penangkapan, mereka yang paling sial. Dalam perusahaan perkebunan, paling tinggi masyarakat lokal hanya menjadi mandor lapangan, bukan direktur. Alasan ekonomi yang menjadi penjebak mereka.

Jika pun ingin kembali pada tradisi, menghidupi diri dari lahan dan hutan, tidak ada peluang. Hutan telah menghilang sedangkan lahan sudah dikuasai oleh orang-orang dari dunia antah berantah, yang sering kali tidak peduli pada tradisi dan kepercayaan pribumi, hanya mementingkan omset pribadi.

Lihat selengkapnya