Tono tengah berdiri di depan cermin untuk terakhir kali dan memastikan tatanan rambutnya sudah berkilap dan terbelah rapi di sisi kiri. Pria itu lalu mencari istri dan anak-anaknya dan ia menemukan mereka tengah berkumpul di depan televisi. Anaknya yang terakhir, yang baru bisa berjalan dalam seminggu ini, Travis, sedang tidur siang. Abangnya, Mark, sebentar lagi masuk sekolah, sedang bermain dengan robot. Ibu mereka sedang terjebak di depan televisi.
Kehadiran Tono membuat perhatian istri Tono teralihkan. “Hati-hati, Pa. Nanti diterkam gorilla,” ujar sang istri. Bukan sebuah guyonan. Tono menangkap raut wajah istrinya begitu serius.
“Tidak ada gorilla di Kalimantan,” jawab Tono sambil menghela napas. Ia terpaksa memaklumi kebodohan istrinya.
Tono mengecup kening Travis, lalu Mark, lalu dengan sedikit enggan mengecup pipi kening istrinya. Istrinya mengenakan daster putih berbahan lembut. Siang begitu terik di hari minggu di Jakarta ini, dan itu pakaian favorit istrinya di hari libur dan di hari yang panas. Senin hingga sabtu, istrinya bekerja sebagai administrator sebuah bank dan udara AC sudah begitu terbiasa bagi sang istri. Begitu biasanya hingga benda itu tidak lagi mampu mencegah kegerahan.
Di awal tahun pernikahan, bila melihat istrinya seperti ini, tentu Tono akan mengundur keberangkatan setengah jam, dan melumat dahulu si istri bagai adonan yang pejal. Tetapi sekarang, timbunan lemak sudah muncul di mana-mana dan anak-anak telah lahir satu persatu. Tekanan ekonomi pun tidak lagi berlaku pada Tono. Pekerjaan, di titik ini, lebih seksi dan menggairahkan ketimbang seorang istri. Ciuman di pipi hanya rutinitas semata.
Tono lalu pamit dan dalam sejam kemudian, ia sudah berada di dalam mobil sedannya, duduk di samping Haryono, supir pribadinya. Talkshow "Ekonomi yang Berkembang” di radio, dibahas oleh generasi muda yang terlalu bersemangat, tak menarik perhatian Tono. Ia dilanda kebosanan dalam hidup. Jakarta sudah menjadi belantara beton yang tidak berjiwa. Bandara sudah menjadi pangkalan ojek baginya. Sepanjang perjalanan, pikiran Tono hanya diliputi kekosongan.
Telepon berdering. Yang masuk, nomor salah satu stafnya.
“Pak, kita tidak jadi berangkat ke Pontianak. Kabut tebal di sana. Pesawat susah turun. Tadi kami sudah koordinasi dengan dinas di sana. Belum tahu kapan lagi dilanjutkan.”
“Oh ya, ya.”
“Jadi bagaimana, Pak?”
“Ya sudah, batalkan saja.”