DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #48

Demi Umang #48

Kehidupan bujang Benediktus pun berlanjut ke kebun karet. Bangun sejak subuh untuk menoreh, dan siangnya menjemur karet-karet itu. Kebun karet Gono terletak di luar kota. Sebulan sekali Benediktus mendatangi pabrik untuk menjual kulat-kulat yang telah dibuat. Benediktus bekerja dengan rajin, jujur, dan ulet. Tidak ada perkara apapun yang ia perbuat pada perkebunan Gono. Begitu pun si Gono, meski posisinya adalah atasan, tidak sekalipun ia memperlakukan Benediktus seperti seorang bawahan. Gono tetap beranggapan bahwa Benediktus adalah salah seorang pengunjung warung kopi yang datang untuk melamun dan merenung, dan sebab itu patut untuk dihargai setiap waktu keberadaannya.

Jika ingin bicara kondisi perkebunan karet Gono secara jujur, ia tidak memerlukan seorang pun pegawai bagi perkebunan. Sebelum kedatangan Benediktus, Gono telah terbiasa melakukan kerja kebun seorang diri. Bisa disimpulkan, pekerjaan yang dilakukan oleh Benediktus sebenarnya hanyalah pekerjaan berlandaskan pertemanan, kalau tidak ingin dikatakan belas kasihan.

Sayang, kemesraan mereka diretakkan oleh harga karet yang turun, dan turun lagi, dan turun terus. Benediktus berbincang dengan Gono, seperti biasa, di warung kopi, untuk membahas hal tersebut, dan meskipun Gono berkata, “ Wis, ra opo-opo, sing penting sampeyan isih iso mangan toh (sudah, tidak apa-apa, yang penting kamu masih bisa makan, kan?)?” di benak Benediktus mulai ada hasrat untuk berhenti. Yang tidak Gono ketahui adalah, isi renungan Benediktus di warung kopi sering berkutat pada keindahan hidup dari mencari Gaharu, pada pundi-pundi yang bisa membeli segalanya. Benediktus tidak pernah menceritakan itu, khawatir dapat melukai perasaan Gono.

Kebetulan, pada bulan yang sama, Benediktus bertemu dengan Amat. Keraguan hati Benediktus untuk pindah dari kebun karet berubah menjadi ketetapan hati yang utuh setelah pertemuan dengan Amat. Amat saat itu sedang kuliah di Sintang, namun menilik dari kendaraan dan harga dompet dan jam tangannya, mustahil seorang anak kuliah bisa melakukan itu. Kuliah, bagi Amat, hanyalah kebutuhan manusia terhadap selembar ijazah. “Itu yang dilakukan orang-orang, kan? Tetapi, kebutuhan pokok kita sesungguhnya adalah duit. Orang kuliah belum tentu bisa cari duit, orang punya duit pasti bisa kuliah. Tidak kuliah pun, bisa punya ijazah,” ujar Amat kala itu.

Segera saja Amat membocorkan rahasianya, dan Benediktus tidak lagi rambang dan bimbang menghadap Gono, mengucapkan terima kasih yang amat besar dan berharap bisa bertemu lagi di suatu hari nanti, serta mendoakan Gono selalu sehat-sehat saja. Tidak lupa dimunculkan alasan kepergian: “orang tuaku mau aku balik ke kampung”. Gono menepuk pundaknya, mengatakan dengan sejujurnya bahwa Benediktus sudah seperti keluarga sendiri baginya. Doa-doa juga dihaturkan Gono.

“Sontoloyo sampeyan! Ini sedikit duit!”

Apa yang dilakukan selanjutnya oleh Benediktus?

Siapa yang bisa menolak gemilang emas yang dihasilkan dari dompeng-dompeng di hulu sungai? Itulah yang ditawarkan Amat.

Kehidupan kembali berjalan bagi Benediktus. Lokasi penambangan emas yang diurusnya berada di sekitar wilayah Sakai, dan tentu ia mengenali daerah itu hingga ke lubang cacing. Seperti halnya ketika menjadi pencari gaharu, dalam bekerja mencari emas, berbekal dompeng dan sedikit pengarahan dari Amat, dalam waktu beberapa bulan, Benediktus memiliki kemampuan untuk menerka di mana lokasi yang paling banyak menyimpan emas. Ini bukan lagi semacam kemampuan alamiah, namun sudah digerakkan oleh insting mencari duit sebanyak mungkin, membalas dendam satu tahun keuntungan pelit dari menoreh karet.

Sambil mencari emas, Benediktus juga digerakkan zaman yang tengah mengelu-elukan kayu Kalimantan. Maka, ia pun membeli sebuah senso, menjadikannya senjata utama untuk mengumpulkan batang demi batang pohon ulin. Sekali menebang, ia mengerjakannya bersama tiga kawan. Pohon yang telah ditebang kemudian dibagi ke dalam beberapa bagian balok dan kemudian dihanyutkan ke sungai. Di bagian sungai yang lebih landai, sudah menunggu truk-truk perusahaan. Sebulan sekali, Benediktus datang ke pos perusahaan, menagih jatah jerih payahnya.

Kerja mencari emas dan menebang kayu telah mengantarkan Benediktus semakin tergila-gila dengan barang mewah. Ia mengunjungi semua toko yang ada di Kemangai, Serawai, Pinoh, atau Sintang. Makanannya selalu daging dan semua karaoke yang ada di kota telah dikunjunginya.

***

Lihat selengkapnya