DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #49

Cita-Cita Anak #49

Dua hari kemudian, Amat mengantar Benediktus istri Benediktus, dan Umang, ke tempat praktik mantri perusahaan di Serawai. Jarak dari Sakai ke Sarawai adalah sekitar dua jam. Tempat praktik itu merupakan sebuah rumah lama, terdiri dari papan-papan yang bisa saja roboh seketika. Jika tidak ada timbangan badan, botol antiseptik, dan obat-obatan yang dijejalkan begitu saja di dalam sebuah rak yang terbuka, Benediktus tidak akan percaya bahwa bahwa rumah ini merupakan tempat berobat.

Si mantri adalah orang yang tidak terlalu tua walau keriput di wajahnya mulai jelas terlihat. Ia berasal dari Pontianak dan dipekerjakan perusahaan untuk mengurusi para pekerja perusahaan yang sakit. Banyak dari pekerja itu merupakan orang luar, tidak memiliki keluarga di Serawai, dan perusahaan memutuskan untuk berbaik hati memerhatikan masalah kesehatan mereka. Dalam praktiknya, si mantri ternyata tidak bekerja untuk para pekerja, tetapi juga masyarakat umum. Dokter desa yang ada dinilai tidak cukup menanggapi keluhan penyakit masyarakat.

Seandainya Benediktus orang yang pernah sekolah kedokteran, atau janganlah jauh-jauh, setidaknya pernah lulus SMA, maka ia akan tahu bahwa tumpukan obat yang berada di rak kamar mantri adalah obat-obat untuk penyakit kurap, korengan, penawar racun gigitan ular dan kalajengking, dan paracetamol. Penyakit semacam itu lazim menghampiri para pekerja di kawasan perkebunan.

Tetapi Benediktus tidak tahu itu. Yang ia perhatikan, di kamar mantri, tidak ada poster penyuluhan layaknya di puskesmas. Justru yang didapati adalah foto besar si mantri sedang bermain golf.

Menyadari sorotan mata Benediktus, mantri itu tertawa, “Itu dulu. Ikut bos main golf.”

Si mantri meminta istri Benediktus untuk mendudukkan Umang di kursi. Tidak ada kasur pasien. Umang lantas dipaksa berbaring. Sempat menolak, Umang akhirnya menurut setelah dijejali bujuk rayu akan mendapatkan mainan baru. Perut, dada, tenggorokannya diperiksa. Tidak lama, mantri kemudian duduk di kursinya sendiri.

“Malgizi,” ujar mantri.

Sebelum si mantri menjelaskan apa itu malgizi, Benediktus dan istrinya sempat bingung, karena mereka berpikir ada kaitannya dengan “mall”. Istrinya bahkan menduga bahwa sakit Umang disebabkan karena kemauan Umang untuk pergi ke Pontianak dan main-main ke mall tidak pernah terpenuhi.

Obat lantas diberikan. Sebagian besar adalah vitamin. Tidak ada asisten atau suster. Si mantri sendiri yang memberikan obat dan menjelaskan dosisnya. Benediktus dan sang istri mengangguk-angguk selalu. Umang sudah ribut minta pulang.

Di luar perkiraan Benediktus, ternyata biaya yang dikeluarkannya untuk pengobatan ini jauh dari jumlah besar. Benediktus bahkan masih bisa membeli beberapa mainan untuk Umang dari sisa persiapan biaya. Si mantri ternyata dekat dengan Amat, dan menganggap Amat sudah seperti keluarga, dan siapapun yang dekat dengan Amat, sudah sewajarnya juga menjadi keluarga. Benediktus berbohong dengan mengatakan bahwa ia adalah sepupu Amat.

Benediktus bersyukur bahwa Amat tidak selicik yang dipikirkannya. Ia merasa bersalah sempat beranggapan buruk dan curiga kawannya itu hanya mengambil keuntungan darinya.

Beberapa hari berlalu, dan Umang perlahan sembuh. Ia kembali lasak, nakal dan banyak omong, membuat ibunya kerepotan namun penuh rasa ceria. Begitu pula Benediktus. Tidak ada lagi kecemasan. Tidak ada yang paling membahagiakan kecuali melihat seorang anak sembuh dari penyakitnya. Dalam bulan itu, setiap bertemu Amat, Benediktus nyaris selalu berterima kasih.

Hanya dalam hitungan hari, Umang kembali menjadi tidak beda dari anak-anak lain, yang berlarian ke sana ke mari. Ia tidak menunjukkan masalah apa-apa, kecuali tanda-tanda bahwa kehidupan ceria tengah menaunginya.

Benediktus dan istrinya bahkan sempat bercakap-cakap tentang masa depan Umang. “Bila ia sedemikian nakal, ia bisa menjadi tentara nanti!” seru Benediktus.

Lihat selengkapnya