Daeng duduk di depan komputer jinjitnya, di salah satu warung kopi di Jalan M. Ia menepati janjinya untuk menyelesaikan sebuah tulisan, dan karena itu, sudah tiga gelas kopi dihajarnya. Sudah satu bungkus kretek dilumatnya. Makan malam ia lupa. Perutnya meronta-ronta. Asam lambung sebentar lagi mungkin meluber. Tetapi Daeng sedang kerasukan aksara. Ia mengalami ekstase berkarya. Tidak ada yang dipikirkannya kecuali menyelesaikan tulisan yang dijanjikan. Warung kopi yang mulai ramai oleh manusia dan tebaran lembar brosur iklan, tidak mengusiknya sama sekali.
Daeng bersandar. Ia memikirkan sisi objektivitas dari tulisan-tulisannya. Sungguh tidak adil jika semua pernyataan hanya didapat dari pihak yang pro. Harus ada yang kontra. Ini akan menjadi lebih menarik. Maka, Daeng mencari-cari sebuah nomor di gawainya, nomor seorang jurnalis juga. Kawannya ini sering meliput kegiatan perusahaan-perusahaan sawit. Ia temukan yang dicari.
“Ju, kau punya kan nomor PT. S? Bagi aku.”
Yang ditelepon mengiyakan. Nomor seorang karyawan PT. S masuk di gawai Daeng tidak lama kemudian. Daeng segera menghubungi nomor yang diberikan. Semua dilakukan dengan cepat. Daeng tidak ingin ada pertimbangan-pertimbangan lain yang masuk ke otaknya sehingga bisa saja ia berubah pikiran.
Nada sambung berbunyi lima kali, lalu seseorang mengangkat.
“Halo, selamat malam. Saya Daeng. Saya…” Daeng memperkenalkan diri dan menjelaskan maksudnya menelepon. Orang yang ditelepon, balas mengenalkan dirinya. Namanya Budi.
“Kami ingin melakukan klarifikasi untuk semua pemberitaan tentang pekerja anak,” sontak si Budi menyela. Padahal Daeng belum lagi bertanya apa-apa.
“Nah, kebetulan. Silakan klarifikasi di sini. Saya akan catat,” balas Daeng.
“Kami ingin klarifikasi dengan bertemu langsung.”
“Semacam konferensi pers, begitu?”
Si Budi tidak menjawab. Daeng terpaksa memanggil, “Halo, halo.”
“Tidak ada komentar untuk sekarang ini,” muncul lagi suara Budi. Daeng hendak mengajukan pertanyaan, namun koneksi telepon sudah diputus.
“Loh…” Daeng menggaruk-garuk tengkuknya, menandakan ia kesal. Bingung. Tapi ia tidak sakit hati. Sudah biasa diperlakukan seperti itu. Tidak semua narasumber itu paham sopan santun wawancara lewat telepon, apalagi jika sedang dalam posisi tertekan.
Namun, tulisan harus rampung malam ini juga. Kalimat bantah si Budi akan mengisi bagian pernyataan pihak PT. S; “Kami ingin melakukan klarifikasi. Tidak ada komentar!”
***
Tulisan yang dibuat Daeng tersebar di beberapa media. Kecaman-kecaman terhadap PT. S, seperti yang diharapkan Santo, Jim Hendrix, Karno, dan Daeng, terus terjaga bara apinya. Mungkin menjadi lebih besar, sebab kali ini bukan hanya masalah pekerja anak yang disasar. Soal perebutan lahan, soal pemetaan yang salah kaprah, juga diangkat.
Sore hari, secara tidak terduga, seseorang menghubungi Daeng. Budi.
“Bagaimana Bapak bisa menulis berita yang sepihak saja?” bentak Budi setelah Daeng mengangkat telepon. Daeng ingin balas membentak, kalau bisa lebih garang. Tapi ia tidak mau menghabiskan energi untuk cara kerja yang tidak efisien. Bentak balas bentak itu sama dengan cara kucing berkelahi. Saling mengiau, tapi tidak ada yang menang.