Beberapa hari kemudian, Daeng mendengar banyaknya laporan pengaduan tentang lahan dan pekerja anak di beberapa area konsesi sawit masuk ke pemerintah provinsi, bahkan pusat. Perusahaan yang bersengketa bukan hanya PT. S. Berita yang ditulis Daeng ternyata menggerakkan orang-orang yang selama ini ragu untuk bertindak. Borok besar yang selama ini diendap-endapkan, disembunyikan, terkuak ke permukaan.
Ada desas-desus akan terjadi demo. Ada desas-desus akan terjadi pembakaran massal kebun perusahaan. Ada desas-desus, masyarakat mau menjahit mulut mereka. Di satu sisi Daeng bangga karena tulisan-tulisannya berhasil menguak sisi buruk oknum perusahaan sawit, menggerakkan korban sisi buruk itu untuk bersuara. Di sisi lain, Daeng khawatir masyarakat akan kalah lagi. Mereka tidak punya strategi. Mereka tidak paham advokasi. Demo, bakar-bakar, marah-marah, itu hanya spontanitas yang bisa diselesaikan dengan sekali bentak. Dan bila kekalahan datang lagi dan lagi, bertubi-tubi, yang ada selanjutnya hanya putus asa, kepasrahan. Itu jauh lebih buruk daripada sebuah pemberontakan.
Berbagai media memuat pengaduan-pengaduan masyarakat, yang seakan datang dari seluruh penjuru muka bumi. Ketapang, Sambas, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, semua ternyata berkonflik.
Daeng tetap berkonsentrasi pada PT. S. Ia menunggu kabar dari Budi. Tapi tak juga muncul.
Di suatu senin yang terang benderang, Santo datang bersua ke Daeng dengan membawa sebuah koran. Daeng tahu koran tersebut pro sawit. Yang menjadi perhatian mereka ialah adanya iklan satu halaman PT. S, dan di halaman di samping iklan, tercantum pernyataan hasil pengecekan Dinas Urusan Kerja Kabupaten di area PT. S.
Tertulis di sebuah paragraf: “Tidak ada kegiatan pekerja anak di PT. S. Video yang beredar tentang pekerja anak di perusahaan tersebut, hanyalah rekayasa, dibuat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab”. Kutipan tersebut diutarakan oleh seorang pejabat.
Paragraf selanjutnya bercerita tentang prestasi-prestasi PT. S, juga kebaikan-kebaikan sosial yang mereka lakukan pada masyarakat.
Santo meradang. “Dari awal saya tidak yakin kalau yang membuat pengecekan itu dinas kabupaten. Mereka itu main mata,” umpat Santo.
“Pengecekan dilakukan hanya satu hari? Pengecekan apa itu?” sambung Daeng. Perhatian matanya tidak lepas dari koran.
Mereka berembuk, lalu menyepakati untuk membicarakan urusan ini dengan Jim Hendrix. Segera mereka menuju Yayasan W.
Meski berpenampilan urakan, Jim Hendrix selalu punya akal dalam menanggapi suatu masalah. Lain wajah, lain isi kepala. Bungkusnya boleh saja berantakan, namun siapapun yang mengenalnya tidak bisa menyangsikan pengalaman dan wawasannya.
Kali ini Jim Hendrix memberi solusi. “Kalau kita klarifikasi, mereka akan bikin klarifikasi lanjutan. Terus saja begitu. Tidak akan ada akhirnya. Bagusnya, sekarang kita berhadap-hadapan. Langsung bertemu dengan perusahaan. Bawa Amai Siung, Rupung, ke Pontianak. Biarkan mereka bercerita sendiri.”
Semua setuju dengan langkah berani Jim Hendrix.