Pertemuan terjadi di sebuah warung kopi.
Awalnya, orang-orang perusahaan meminta pertemuan dilangsungkan di sebuah hotel mewah. Daeng, tanpa perlu berdiskusi dengan Santo atau yang lainnya, menolak. Ia tidak ingin bermain-main di tempat yang terlalu eksklusif, yang tidak terlalu dikenalnya. Kemewahan eksklusif juga bisa menjadi bentuk intimidasi. Orang kelas menengah, apalagi miskin, cenderung langsung menciut bila dihadapkan dengan barang-barang mahal, glamor, berkilau-kilau; segala benda yang tidak terjangkau dompet mereka. Daeng tidak mempan dengan intimidasi semacam itu, tetapi mengingat di pihaknya ada manusia-manusia sederhana, Rupung dan Amai Siung, menghindari intimidasi lewat pengondisian suasana tentu harus dilakukan. Daeng tidak mau mereka keok duluan sebelum bertanding.
Daeng mengusulkan warung kopi. Warung kopi merupakan tempat yang netral, yang bisa dijajal oleh kalangan manapun. Warung kopi yang dipilih adalah yang tidak ramai orang, juga tidak terlalu sepi, menjajakan cita rasa kopi yang nikmat yang harus setara dengan bobot pertemuan, dan harus dikenal oleh Daeng dengan sangat baik. Di warung kopi, Daeng juga bisa mengajak beberapa kenalan untuk duduk mengelilingi meja pertemuan mereka. Sekadar berjaga atas segala kemungkinan terburuk meski ia yakin orang PT. S tidak akan kelewat batas. Ia tidak ingin berlebihan menyikapi masalah ini. Tetapi, tidak ada salahnya untuk selalu siaga.
Pihak PT. S setuju.
Hari pertemuan: Jumat siang usai salat Jumat dan makan siang.
Daeng datang bersama Jim Hendrix, Karno, dan Nadi (yang diajak oleh Santo). Mereka duduk terpisah. Daeng mengambil meja yang agak lebar. Jim Hendrix, Karno, dan Nadi, duduk di tempat yang tidak jauh dari tempat Daeng yang memungkinkan mereka mereka masih bisa mencuri dengar.
Tidak lama setelah rombongan Daeng tiba, datang Santo, membawa Amai Siung dan Rupung. Mereka bertiga duduk di tempat Daeng berada. Santo dan Amai Siung memberi anggukan kepada rombongan Jim Hendrix.
Setengah jam kemudian, orang-orang perusahaan tiba. Anggotanya; seorang lelaki bergaya khas metroseksual dengan rambut rapi, kemeja biru muda, celana jeans, sepatu kulit; seorang pemuda berkaca mata, gestur muka tukang manut-manut; dua orang berkaos kerah; dan dua orang berkaos oblong. Orang-orang berkaos kerah dan oblong, dari tampilannya yang kekar dan tinggi, mengingatkan Daeng pada sosok-sosok yang berprofesi sebagai tukang pukul.
Saling salam terjadi. Daeng melempar senyum ceria, seolah sedang hendak melakukan perjanjian bisnis. Si lelaki metroseksual menghampiri Daeng terlebih dahulu. Ia memperkenalkan diri, “Roland”.
Inilah bosnya, ujar Daeng dalam hati. Kharisma seorang bos kentara sekali. Roland berprilaku tenang, santai, dan menunjukkan kelasnya sebagai eksekutif. Ia bahkan melempar sebungkus cerutu yang baru dibeli dari Turki, menawarkan pada semua orang.
Pemuda berkacamata, tukang manut-manut, menyalami Daeng. Budi, katanya. Oh ini dia, tak jauh beda dari yang kubayangkan, batin Daeng.
Santo menyeringai saat Roland menghampirinya. Benar, orang itu lagi. Ia bangkit menyambut mereka dan tersenyum menantang.
Amai Siung dan Rupung ikut menyalami. Kesan grogi menjalari mereka berdua.
“Bertemu lagi kita, Pak,” tegur Roland pada Santo. Roland dan Budi duduk di kelompok Daeng, Santo, Amai Siung, dan Rupung, sedangkan para konconya mencari meja lain.