Rupung akhirnya yang pertama bersuara.
“Saya yang mengambil video itu. Lokasinya di lahan PT. S, di utara Kesange. Seperti yang sudah saya bilang kepada Pak Daeng waktu ditelepon. Tidak ada saya membuat itu bohong. Saya bisa tunjukan tempatnya.”
“Anak-anak itu, disuruh kan? Akting?” Budi melengos tidak sabar.
“Tidak. Tidak pernah saya suruh anak-anak itu membawa polybag lalu saya rekam. Mereka memang begitu setiap hari,” jelas Rupung.
“Betul,” tambah Amai Siung, yang kemudian melanjutkan. “Anak dalam video itu, yang baju merah, namanya Denis. Denis ini, cucu saya.”
Semua mata tertuju pada Amai Siung. Yang ditatap ragu-ragu untuk balas menatap.
“Anak-anak itu bekerja, bukan hanya main-main.”
“Mereka itu main-main,” sambar Budi spontan. “Hanya main-main. Masa kami melarang anak untuk main-main. Perusahaan tidak pernah memiliki kebijakan mempekerjakan pekerja anak atau anak di bawah umur sesuai ketentuan peraturan dan undang-undang tenaga kerja.”
“Mereka kerja juga,” balas Amai Siung.
“Apa pekerjaan Bapak?” Roland mengambil alih.
Amai Siung dan Rupung ragu, siapa yang ditanyai.
“Saya, kerja ladang. Jual kue,” Amai Siung menjawab.
“Kalau Bapak?” Roland memandang Rupung seperti hendak menerkam.
“Eh, saya orang Sakai, kerja petani.”
“Jadi Bapak bukan orang Kesange. Bagaimana orang Sakai bisa datang ke lahan sawit di Kesange?”
“Saya main ke rumah Amai Siung di Kesange. Jalan-jalan ke kebun sawit.”
“Hanya main-main?”
“Tidak ada yang bisa dikerjakan di rumah hari itu.”
Roland terkekeh. “Denis ini, siapa yang menyuruh dia bekerja?”
“Tidak tahu saya. Orang tuanya mungkin.”
“Nah, jelas kan?” Roland melempar pandang pada semua orang. “Anak-anak di Kesange itu baik-baik. Mereka mau bantu bapaknya bekerja. Sama seperti di rumah saja. Kalau bapak lagi mencangkul, ya anak membantu.” Nadanya menyepelekan. Wajahnya bahkan tidak memperlihatkan keseriusan, seakan yang sedang diselesaikannya hanyalah soal pertengkaran anak-anak.
“Eh, tidak begitu,” Amai Siung segera menyela. “Tidak ada kami suruh mereka membantu. Banyak juga anak yang bukan anak orang kerja sawit.” Amai Siung berbicara agak keras, “Waktu libur, betul cucu saya ke lahan. Bukan dia saja. Ada lebih lima puluh anak. Saya pernah larang. Tapi dengar ada uang, mereka ikut terus. Tapi tak ada nama mereka di absen.”
“Anak-anak itu diberi uang?” sambung Daeng.
“Ya.”