Sebelumnya, orang-orang Sakai melihat kedekatan Nadi dan Puhtir sebagai keakraban antara tamu dan tuan rumah, peneliti dan narasumber. Tetapi, setelah kedatangan Nadi yang kesekian kali, mereka mulai berpikir bahwa Puhtir akan dinikahi, lalu dibawa kabur ke kota.Tidak ada yang menyangkal kedua orang itu tampak sangat lengket sekali. Saat Nadi datang ke Sakai, akan selalu ada Puhtir di sampingnya. Hubungan mereka bukan lagi hubungan simbiosis mutualisme. Tidak lagi seperti burung jalak dan kerbau, atau burung pelatuk dan semut, atau kupu-kupu dan bunga.
Yang satu sudah menjadi pelengkap bagi yang satu lainnya. Seperti pohon dan tanahnya.
Kedekatan Nadi dan Puhtir sudah menjadi desas-desus kampung. Orang-orang sangat yakin, yakin seyakin-yakinnya, bahwa yang terjadi antara Nadi dan Puhtir bukan lagi keakraban persahabatan seperti yang selama ini mereka dengungkan ketika ditanya. Orang-orang menguar-uarkan hubungan mereka bukan dengan maksud buruk, hanya sebagai sebuah cerita saja yang biasa dipercakapkan di sore atau malam hari, seraya memotong kayu bakar, menanak nasi, atau sambil memandikan anak di sungai. Tidak (atau belum) berbeda dengan cerita Rupung yang membeli motor lalu menjualnya lagi setelah keesokan harinya karena tidak mungkin dipakai di Sakai. Tidak berbeda dengan cerita Markus yang menikahkan anaknya yang memiliki kelainan mental dan setelah menikah kegilaannya hilang seratus persen.
Sudah menjadi kewajaran jika kaum perempuan selalu terlibat di dalam pergunjingan, tetapi dalam kasus ini, para lelaki juga ramai membicarakannya. Ada keengganan pada hati beberapa pria jika Puhtir jatuh ke tangan orang lain, apalagi itu orang luar desa, dan para lelaki patah hati itu mulai berpikir tentang ramuan-ramuan atau mantra-mantra agar hati Puhtir bisa tergoyahkan. Ide itu segera buyar mengingat Puhtir bernenekkan dukun adat yang bisa berbicara dengan para arwah, sengiang, dan segala makhluk halus. Bisa jadi, keampuhan mantra dan aji-aji yang mereka panjatkan berbalik arah.
Sungguh, seandainya Puhtir memang dinikahi, akan merupakan sebuah kesedihan ditinggal oleh perempuan yang menyenangkan, meskipun mereka tidak menyangkal, kisah asmara Nadi dan Puhtir akan menjadi kisah yang menarik dan cantik. Bukan hal yang aneh di Sakai bila ada perempuan dipinang lelaki luar. Tetapi, karena Puhtir adalah gadis yang dikagumi keanggunannya secara terhormat, pujaan hati setiap warga desa, lelaki atau perempuan, disayangi oleh anak-anak, sedangkan Nadi telah terbukti merupakan tamu yang sopan dan menunjukkan kebaikan orang berpendidikan, kisah kedua orang itu pun disamakan dengan dongeng-dongeng indah manapun.
“Jujur saja, tidak ada orang yang tepat bagi Puhtir di desa ini. Herman pun tidak, seandainya Puhtir mau,” ujar seorang istri pada suaminya.
“Herman sudah terlalu tua dan berkeluarga. Tetapi, tidakkah kau pernah menebak berapa umur Nadi?” balas sang suami.
“Aku yakin Kak Puhtir akan masuk sekolah tinggi bila menikah dengan Bang Nadi,” ujar seorang gadis pada kawannya.
“Oh, di mana Ine’ letakan gaun? Itu gaun yang hanya Ine’ pakai untuk peristiwa menyenangkan,” celoteh seorang ibu pada anaknya.
“Adat untuk orang luar itu sangat besar. Aku tidak heran kalau Nadi mengundurkan diri. Mengapa ia harus memilih Puhtir? Di Pontianak banyak yang lebih cantik. Bisa kau temukan di mall. Kau tidak tahu mall? Tahun lalu aku ke Pontianak, pergi ke mall. Eh, kau belum pernah lihat tangga jalan?” kalut seorang pemuda pada adiknya.
Pembicaraan seperti itu tidak pernah diucapkan terang-terangan di hadapan Nadi, namun daun yang melayang-layang pun akhirnya tiba juga di tanah. Maka, di kedatangannya kali ini, Nadi tanyakan hal itu ke Benediktus.
Benediktus terkekeh. “Sakai ini sempit. Kau bisa dengar kucing kencing walau dia bersembunyi. Apa yang mereka bilang itu betul? Heh?”
Istri Benediktus turut menyumbang suara, “Semua orang, semua orang sudah bertanya-tanya kapan kau akan melamarnya? Bisa kau beri tahu aku?”