Dion malah bertingkah konyol. Ia memaksa, jika tidak dipinjami uang, ia tidak akan mau lagi menjaga warung. Mau tidak mau Uwi memberikan, dengan catatan potong upah bulan depan. Dion pun mengajak Adinda ke pasar dan dipersilakannya sang kekasih memilih gawai sesuai selera. Adinda girang bukan kepalang. Di sekolah, kepada semua temannya, ia pamerkan benda mahal itu. Dion turut gembira, meski miliknya sendiri adalah handphone layar kuning turunan dari Markus.
Gawai mahal itu hanya permulaan. Adinda selanjutnya ingin memiliki motor. Bukan barang yang bisa dibeli dengan setahun gaji. Tapi Dion berjanji, ia akan memberikannya beberapa bulan kemudian.
Hingga Adinda lulus sekolah, janji itu belum juga dapat dituruti. Adinda kesal dan menagih. Dion hanya bisa berucap “sabar ya sayang”. Di saat yang sama, seorang lelaki pulang dari perantauan dari Sarawak. Pakaiannya perlente. Dompet tebal dan handphone keluaran terbaru selalu dijinjing ke mana-mana. Orang-orang menjadi kagum. Kepada orang-orang, lelaki itu bercerita bahwa ia berhasil memiliki perusahaan sendiri di Sarawak, Malaysia. Tidak lagi menjadi TKI bawahan. Ia kembali ke Kemangai karena ingin membeli tanah dan rumah. “Untuk investasi saja,” ujarnya dengan nada serendah hati mungkin. Orang-orang semakin kagum karena ia mau membayar mahal tanah yang ditawarkan kepadanya.
Suatu hari, lelaki itu pergi membeli rokok di warung Dion. Dion sedang tidak di tempat karena harus menemani Pastor ke Pinoh sehingga Uwi yang langsung mengambil alih warung. Kebetulan, Adinda juga datang ke warung untuk berbelanja beras, kopi, dan gula. Lelaki itu dan Adinda pun bertemu. Mereka bercakap-cakap. Sekadarnya. Saat berpisah, belanjaan Adinda dibayarkan oleh lelaki itu. Uwi tidak curiga pertemuan pacar adiknya dan lelaki lain itu akan menyebabkan situasi nelangsa pada adiknya nanti.
Lelaki itu dan Adinda bertemu lagi di jalan. Mereka bertemu lagi di pasar. Perkenalan semakin akrab, pertemuan pun semakin kerap. Sampai suatu hari, mereka sengaja pergi berdua ke pasar dan Adinda dibelikan banyak baju, sekaligus dengan pakaian-pakaian untuk keluarga Adinda. Lelaki itu lalu mengajak ke Pontianak. Adinda yang belum pernah sekali pun melihat mall, senang bukan kepalang. Lelaki itu juga langsung meminta izin kepada kakak Adinda, ingin menunjukkan bahwa ia lelaki tepat dan siap menjaga Adinda. Kakak Adinda mempersilakan dengan harapan dibawakan oleh-oleh.
Kabar tentang Adinda dekat dengan lelaki lain didengar pula oleh Dion. Ia menjadi marah. Ia pergi ke rumah Adinda, tetapi sang pujaan hati ternyata telah ke Pontianak, bersama lelaki lain pula. Dion megap-megap. Ia membanting handphone, gelas kopi, dan apapun yang ada di hadapannya saat kembali ke rumah. Uwi berusaha keras untuk menenangkannya.
Saat Adinda kembali dari Pontianak, Dion tidak mau lagi menemui Adinda dan ternyata Adinda sama sekali tidak peduli dengan Dion. Si Lelaki Perlente telah melamar Adinda ketika di Pontianak dan Adinda tidak memiliki alasan untuk menolak. Beberapa hari setibanya di Kemangai, si lelaki lalu ke Sakai, menemui orang tua Adinda untuk menyampaikan hasratnya menikahi anak perempuan mereka. Lamaran diterima. Pernikahan harus disegerakan karena si lelaki perlente akan kembali ke Sarawak di awal tahun.
Sekarang inilah, di Sakai ini, dua hari lagi, acara pernikahan mereka akan berlangsung.
Nadi mencari-cari motivasi yang tepat untuk menghibur Dion. Ia tidak pernah menangani persoalan patah hati.