DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #59

Pernikahan Uud Danum #59

Sejak pagi, rumah hajatan sudah dipenuhi pihak keluarga mempelai perempuan dan mempelai pria. Kedua keluarga duduk berbaur. Besaran rumah Adinda tidak sebesar rumah Benediktus sehingga Nadi harus berkali-kali meminta maaf untuk melangkahi kaki mereka kala berpindah tempat ke sana ke sini untuk memotret. Para pengantin duduk di tengah ruangan, di atas gong, dan dihadapkan pada pohon yang disebut savang.

Mempelai perempuan, Adinda, tampak menawan. Memang ia seorang gadis yang tengah ranum. Putih, berseri, dan berbibir merah. Ditambah riasan yang pas, menjadi setara dengan artis sinetron.

Nadi menyunggingkan senyum. Wajar jika Dion begitu tersuruk-suruk hatinya. Sementara mempelai lelaki, membuat Nadi berimajinasi tentang rentenir pelit. Berwajah tua, perut buncit, dan tawa yang tidak enak didengar. Semoga mereka tidak berbahagia, doa Nadi, sebab ia sungguh berempati pada penderitaan Dion. Sambil memotret, sambil Nadi bertanya-tanya pada pihak keluarga, meminta mereka menjelaskan apa saja prosesi dalam pernikahan.

Sebagaimana suku-suku lainnya, pernikahan selalu memiliki pola yang sama. Ada lamaran, ijab-kabul, dan pesta pernikahan. Yang berbeda tentu tata caranya.

Pada saat ngisok atau lamaran, pihak lelaki mesti memberi berbagai macam benda. Ada gong, kain, manik-manik, gelang tembaga, dan macam-macam daun. Bila lamaran diterima, masuk ke dalam prosesi ticak kacang. Kedua calon mempelai diberi kunyit di kening sebagai tanda bahwa merekalah yang akan menikah. Lantas, mereka akan ticak kacang, duduk diberkati di atas tikar, untuk memperkenalkan diri kepada khalayak ramai sebagai sebuah pasangan suami-istri.

Di hari ini, hari pernikahan, kedua mempelai sahkik koruh. Pihak pengantin lelaki menyerahkan hantaran ke rumah mempelai perempuan. Kedua mempelai duduk di atas gong yang telah diberi berbagai macam daun, rotan, dan benda-benda sakral. Para tetua mengipas-ngipaskan ayam di atas kepala para pengantin, mohpas. Jumlah orang yang merestui harus ganjil. Para perestu itu, memegang daun, dengan telunjuk harus ke atas, menandakan bahwa pengantin sudah berjanji untuk siap berkeluarga. Ayam yang digunakan saat mohpas lantas akan disembelih dan darahnya digunakan untuk nyahki; darah ayam dieluskan ke pengantin di bagian dahi, dada, telapak kaki, punggung kaki, dan punggung. Punggung mereka diberi berbagai macam minyak. Mereka lantas menggunakan gelang, berdiri serempak, dan mengoleskan darah ayam di bagian atas rumah.

Kedua mempelai kemudian keluar rumah dengan membawa tanaman savang. Berdua mereka menggotong tanaman itu dan menanamnya di lubang yang sudah diberi beras, darah, dan cangkang telur. Nadi jatuh kagum dengan makna dari penanaman ini. Sebuah keluarga haruslah seperti sebuah pohon, yang antara akar, batang, daun, dan lain-lain. Saling berhubungan tanpa kata selesai.

Kemudian, pengantin diarak menuju sungai. Jajak akan berdoa, membelah-belah air dengan mandau, disayat dari arah matahari terbenam ke arah matahari terbit, membentuk pola persegi empat, dan lantas memasukkan segala macam sesajen. Kedua pengantin turun ke dalam air. Pihak keluarga akan menebar jala, menutupi mereka berdua. Selesai sudah.

Sedang memotret para pengantin di dalam jala, entah siapa mendorong Nadi. Tidak ada tempat berpijak di hadapannya. Terjengkang ia masuk ke sungai. Tangannya spontan mengangkat kamera tinggi-tinggi. Air sungai hanya setinggi dada. Belum sempat ia berbalik badan, dari belakangnya, tercebur lagi seseorang. Nadi sadari yang diceburkan adalah Puhtir.

Lihat selengkapnya