DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #60

Zaman Titik Penentuan #60

Nadi juga mendengar kabar kondisi terkini Kesange pasca PT S dibekukan. Di antara tamu-tamu yang datang ke pernikahan Adinda, terdapat orang Kesange atau wilayah sekitarnya. Nadi mendengar kabar dari mereka bahwa tidak semua orang berada di pihak Amai Siung. Preman-preman kampung yang selama ini dimanfaatkan oleh PT S untuk menjaga titik-titik penting kawasan konsesi sawit kehilangan upeti. Mereka mengancam Amai Siung dan orang-orang yang mendukungnya.

Selain itu, para pekerja sawit yang tidak memiliki pekerjaan apa-apa lagi, karena untuk berladang pun mereka tidak lagi punya lahan sedangkan perusahaan menolak memberikan upah selama dibekukan, mulai memanas. Mereka sedang menyusun rencana untuk demo ke pemerintah provinsi untuk mencabut pembekuan. Perang dingin terjadi di Kesange.

Jelas, masalah ini seperti masalah kebakaran gambut. Tidak dapat dipadamkan dengan sekali siraman air. Walau api di permukaannya berhasil ditangani, api di akar-akar yang tak terlihat ternyata masih membara dan bersiap-siap menyemburkan lidah api lagi. Tanpa luberan hujan berhari-hari, api di akar tidak akan tersentuh.

Nadi berharap Santo, Daeng, maupun orang-orang di Yayasan W menyadari hal ini. Pembekuan PT. S bukan sebuah kemenangan. Jika mereka memutuskan berdiam diri, api dari akar akan menyembur kembali, mungkin dengan lebih dahsyat, dan masalah tidak akan pernah berhenti, justru menjadi-jadi.

Ia tidak tahu bagaimana seharusnya solusi untuk semua itu. Ia hanya perekam masa lalu, bukan penentu masa depan. Ia hanya berusaha yakin bahwa dunia masih berisikan orang-orang baik, yang kecerdasan mereka tidak digunakan untuk memikirkan diri sendiri. Orang-orang perusahaan itu pun sejatinya adalah orang-orang baik sebagaimana orang-orang seperti Santo, Daeng, dan di Yayasan W tidak selalu orang-orang yang benar. Sebagaimana galibnya manusia. Mungkin mereka sebenarnya ingin pula alam tetap lestari. Bagaimanapun, salah satu kebutuhan eksistensi manusia adalah terikat dengan ibunya, alamnya. Sebab sistem kapitalisme yang sudah mencengkram bumi, dari langit hingga dasar laut, mereka terpaksa menjadi orang-orang yang teralienasi dari kebutuhan pada alam. Mungkin mereka juga sebenarnya sedang mencari jalan terbaik agar alam dapat terjaga, dan di sisi lain, pembangunan ekonomi juga meningkat. Hanya karena perbedaan cara, perbedaan langkah, maka yang terjadi selanjutnya adalah pertengkaran dan permusuhan.

Mungkin iya, mungkin tidak.

Yang paling ia insyafi adalah, dirinya sedang hidup di salah satu zaman titik penentuan, antara pelestarian alam atau penghancuran total ditentukan. Dan desa-desa seperti Sakai ini, akan menjadi korban paling awam, bidak paling rentan, atau bisa pula menjadi benteng paling depan, perisai paling tahan, dari zaman ini.

Saat mencelupkan diri di sungai sambil memandang hamparan tubuh bukit yang dijejali pohon-pohon tua, Nadi sering melafalkan sebuah lagu –bernyanyi juga dimaksudkan untuk menghalau dingin akibat air.

Lestari alamku.

Lestari desaku.

Di mana Tuhanku, menitipkan aku… 

Lihat selengkapnya