Melihat Nadi diam melulu, Puhtir kesal juga. “Ngomonglah.”
Nadi menunduk dan membatin. Ngomong salah, diam salah. Beginikah semua takdir lelaki di hadapan perempuan?
“Jadi, cerita apa yang kau suka?” Nadi bersiasat mengalihkan topik.
“Novel Kira-Kira (Novel mengenai imigran Jepang di Iowa, Amerika, karya Cynthia Kadohata) , ” Puhtir berpikir lagi, “Filosofi Kopi juga bagus.”
“Yang paling disukai?”
“Sudah kujawab.”
“Tidak harus dari buku-bukuku. Cerita-cerita Uud Danum juga boleh.”
“Oh. Apa ya. ” Puhtir berpikir keras, dan kemudian, “Koring.”
“Apa itu?”
“Kau belum pernah mendengarnya?”
“Kau tidak pernah menceritakannya.”
“Nek Ga tidak pernah bercerita?”
Nadi menggeleng.
Puhtir cekikikan. “Karena aku sendiri yang mengarangnya.”
Nadi melengos, namun ia bahagia telah dipermainkan.
“Ini sebenarnya cerita dari Punan. Nek Ga pernah punya kawan orang Punan. Dulu main ke sini. Ia suka mendongeng kepadaku. Tapi, aku suka cerita versiku sendiri, karena cerita Punan itu punya kemiripan dengan cerita Koring. Kau tahu Koring? Ia orang yang suka bertingkah konyol.”
“Versimu sendiri? Benar begitu?”
Puhtir mengangguk ceria bagai anak kecil.