DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #62

Koring dan Lomiang #62

Kehidupan berjalan dengan bersungut-sungut, seperti masih tidak rela Lomiang harus bersuamikan Koring. Namun itulah garis jodoh, lebih menyerupai misteri ketimbang teka-teki. Sekeras apapun memaki, garis tidak akan bergeser sedikitpun.

Pelan-pelan, suasana hari mulai cerah lagi. Orang-orang mulai dapat menerima salah satu pernikahan yang agak sulit diterima akal budi paling liar sekalipun. Koring dan Lomiang, di tempat barunya, menjalankan kehidupan mereka berdua dengan suka cita.

Hari-hari berjalan seperti sedia kala. Matahari muncul dengan menyediakan kehangatan dan gelap malam selalu menjelma waktu yang menenangkan untuk rehat. Suatu hari, kala pagi masih berusaha membangunkan setiap mata yang terpejam, Koring berkata pada Lomiang, “Sekarang aku ingin menebas ladang. Pasti sudah banyak rumput tumbuh. Kau ikutlah.”

Lomiang menurut.

Mereka pun pergi menebas. Ilalang, semak belukar, tidak luput dari mata parang Koring. Beberapa pohon tumbuh dengan sangat cepat hingga setinggi bahu Koring. Maka ia menebangnya juga. Lantas pohon-pohon itu dikumpulkannya dan didiamkan begitu saja, untuk dijadikan kayu bakar nantinya. Berhari-hari, mereka begitu. Koring yang meskipun bebal, memiliki tubuh sekeras batu dan tubuh demikian sungguh berarti bagi kerja ladangnya. Sementara Lomiang, selalu rajin membawakan suaminya air dan menanak perbekalan nasi untuk makan siang mereka.

Hingga tiba juga puncak kemarau. Saatnya masa untuk membakar. Kepada istrinya, Koring berkata, “Tunggu sebentar lagi, ketika matahari di tengah-tengah.” Ia tambahi pesannya, “Kamu jangan jalan ke mana-mana, di pinggir saja.”

“Iya,” jawab sang istri. Duduklah Lomiang dengan manis sang istri di pinggir ladang.    Sesekali ia bersenandung, bermain dengan burung pipit dan tupai, atau mencari rotan untuk dianyam.

Ladang pemberian dewata

Burung berkicau ibarat desau angin

Tupai melompat dengan cepatnya

Air yang deras dan jernih

Kami manusia di antara mereka

Lihat selengkapnya