Terus Koring menangis selama terjebak di dasar sungai. Menghabiskan masa setahun, dua tahun, tiga tahun, bertahun-tahun.
Beruntung, seisi sungai menemaninya. Ikan-ikan, buaya, kura-kura, daun-daun yang hanyut, mengajaknya bercengkrama, membuatnya tidak mati kebosanan. Kematian raga adalah biasa, tetapi kematian jiwa adalah seburuk-buruknya kematian. Maka, Koring mampu bertahan hidup dengan adanya kehangatan persahabatan.
“Hati yang bosan adalah malapetaka sesungguhnya,” tutur kura-kura.
“Kepala yang bosan adalah celaka sebenarnya,” ujar ikan-ikan.
“Diri yang bosan adalah kematian sejatinya,” sabda buaya.
Sementara daun-daun tidak berkata apa-apa, hanya mengelus-elus kepalanya.
Air mata yang terus menerus keluar dan dingin air sungai yang tiada henti akhirnya membuat tubuh Koring menciut. Tangannya mengecil, kepalanya mengecil, perutnya mengecil, kakinya mengecil. Daging di selangkangannya juga mengecil, menjadikan akhirnya Koring sama sekali lupa soal payudara Lomiang. Setelah semua menyusut, Koring pun terbebaskan.
Tetapi, kembali ke rumah bukan perkara mudah. Sebab menjadi kecil, menciut, kering kerontang, ia tidak mampu melawan arus sungai, tidak mampu menyentuh darat, meski hanya menyentuh rerumputan muda di pinggiran sungai. Ia terbawa arus, terus ke hilir, terus ke hilir.
Sampai kemudian, turun hujan yang sangat deras. Angin begitu kuat, menumbangkan banyak pohon besar. Pohon-pohon itu hanyut dan pada salah satu pohon, Koring lantas berpegangan. Berhari-hari lamanya ia hanyut.
Namun, kali ini ia bisa menghidupi diri. Dedaunan, buah-buahan, akar, ia santap dengan nikmat. Siput-siput yang secara tidak sengaja melekat di tangkai-tangkai yang hanyut, menambah rasa sedap. Raga Koring lantas kembali seperti sedia kala dan akhirnya ia siap untuk segala hal.
Di suatu persimpangan sungai, ketika arus-arus sungai saling bertubrukan, menciptakan riak kecil yang aneh di beberapa bagian sementara di bagian lainnya permukaan sungai menjadi mulus laksana batang pohon yang telah dikuliti, Koring memutuskan untuk melompat dan menyeberang. Tidak ada hambatan apa-apa. Sebentar saja ia meraih daratan dan dengan satu hentakan keras, ia melompat menaiki sebuah batu. Diliriknya sejenak pada pohon tempat ia bertempat tinggal. Pohon tersebut bertubrukan dengan pohon lain dari sungai yang lain, pecah berkeping-keping.
“Nahas sekali siput-siput yang belum sempat kusantap,” batin Koring. Kemudian ia berjalan, melangkah satu-satu, mengikuti jalur sungai, berharap di ujung sungai sana masih ada rumahnya beserta Lomiang yang menunggu.