Suatu hari, Umang jatuh dari teras rumah. Kepalanya terbentur balok kayu yang diletakkan Benediktus di samping tangga setelah membetulkan tangga itu. Umang pingsan dan sepanjang hari kepanikan dan kecemasan melanda orang tuanya. Benediktus, tanpa berkemas, tanpa mandi, memutuskan ke puskesmas Kemangai, untuk mengadu ke dokter umum. Umang digendong. Istrinya tergopoh-gopoh mengekor di belakang. Jantung Benediktus dag-dig-dug, namun wajahnya dibuat setenang mungkin.
Di Kemangai, Umang sempat siuman tetapi mengeluhkan perutnya. Demamnya tinggi.
“Sudah saya bilang, bawa ke Sintang,” ujar si dokter sambil meletakkan stetoskop di meja. Ucapannya tegas. Ditambah tubuh yang tinggi, badan bongsor, pakaian putih-putih, si dokter berhasil mengintimidasi Benediktus. Benediktus menciut seolah ia sedang dipersalahkan.
Benediktus menceritakan soal malagizi yang diderita oleh Umang dan sudah teratasi dengan obat-obatan mantri perusahaan.
“Ada indikasi malagizi, tapi tidak benar-benar serius. Bukan itu. Bawa ke Sintang juga, hari ini!”
Benediktus tidak bisa membantah lagi. Gelegar suara dokter dan kepanikan merongrong jiwanya.
Kebetulan pada saat itu, beberapa orang di puskesmas Kemangai akan dirujuk ke Sintang. Mereka dibawa oleh speed boat puskesmas. Umang ditumpangkan di speed boat itu dan istri Benediktus menemani. Sementara Benediktus, kembali ke Sakai untuk mengemasi barang-barang keperluan menginap.
Setelah Umang dan istrinya berangkat, sebelum Benediktus kembali ke Sakai, ia sempat mencari-cari Amat di Kemangai, namun yang ditemui hanya Bonar di pasar.
“Amat sedang ke Pontianak, Bens. Nanti kukabari kau mencarinya,” jelas Bonar.
Di Sakai, Benediktus menemui Herman. Beruntung yang dicari sedang duduk ngopi di kantor desa. Herman lekas memerintahkan bendahara desa untuk mengeluarkan dana yang memang diperuntukkan keperluan mendesak warga. “Dana mendesak warga” merupakan inovasi Herman.