Mereka memiliki beberapa sanak keluarga di Sintang, dan kepada mereka mula-mula Benediktus bertanya. Sayangnya, tidak ada yang bisa menjanjikan Benediktus pekerjaan dalam waktu dekat.
Dengan niat menenangkan pikiran, Benediktus akhirnya pergi ke warung kopi Margono. Hati kecilnya berharap menemukan sahabatnya itu setelah sekian lama tidak berjumpa. Perihal pekerjaan dan penyakit Umang ingin dienyahkannya sejenak.
Tidak ia jumpai sosok Margono. Dari keterangan penjual kopi, warung kopi itu masih milik Margono, namun si pemiliknya sudah sibuk mengurusi kebun sawit di sebuah kampung tidak jauh dari Sintang. Si Penjual memberi alamat Margono kepada Benediktus. Dengan berbekal sepeda motor pinjaman dari keluarga, Benediktus melaju ke sana. Memang tidak jauh jaraknya, hanya satu setengah jam.
Rumah Margono juga tidak sulit dijumpai karena merupakan rumah yang besar dan megah di antara rumah yang lainnya. Warnanya biru mencolok. Pintunya besar dan coklat mengilap. Ada air mancur dan lampu taman di halaman. Sebuah mobil 4WD bercokol di garasi.
Saat Benediktus tiba, Margono sedang berada di kebun. Anak Margono, seorang remaja ayu dengan kulit kecoklatan dan mata bulat, menyambut Benediktus. Benediktus dipersilakan menunggu, dan ia disuguhi macam-macam kudapan dan jus naga. Menjelang sore, Margono datang. Saat melihat Benediktus, Margono terbelalak, seolah melihat penampakan gaib.
Tidak perlu waktu yang lama bagi Margono bahwa yang berada di rumahnya adalah Benediktus. Memang, tidak banyak yang berubah pada penampilan Benediktus. Raut wajahnya sudah serupa orang tua sejak dahulu. Sementara Margono, jika Benediktus berpapasan dengannya di jalan, tidak yakin akan mengenalinya. Gempal, brewokan, dan berkumis bagai jin botol. Margono yang dikenal Benediktus adalah Margono yang ceking dan tidak membiarkan sehelai rambut tumbuh di wajah. Satu-satunya yang tersisa dari Margono adalah matanya yang cekung ke dalam.
Dua sahabat itu saling berpelukan.
Dari cara Margono memeluk dirinya, Benediktus sadar bahwa ia terlalu menganggap remeh persahabatan Margono. Pelukan ini adalah pelukan kerinduan, terlampiaskan setelah lama terpendam. Bukan pelukan basa-basi atau sekadar sopan santun. Ini adalah pelukan dengan hentakan beberapa kali, erat sejenak menghimpit paru-paru, lalu diakhiri dengan tepukan berkali-kali di pundak.