DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #68

Sawit Mandiri #68

Di warung kopinya, Margono sering terlibat dalam percakapan-percakapan dengan para pengunjung, dan tidak jarang ia menemui orang-orang yang sangat pandai. Ada yang sarjana, doktor, profesor. Margono senang menguping mereka. Saat isu sawit semakin menggembung, obrolan sawit pun juga semakin marak. Para orang pandai juga mengobrolkannya.

“Kalau petani mau menjadi mandiri, mereka bisa menentukan harga yang paling tinggi. Mereka harus punya nilai tawar. Syaratnya, mutu perkebunan mereka lebih baik dari petani lain,” ungkap seorang dosen.

“Kerjanya lebih berat. Peraturannya lebih ketat. Orang kita terbiasa untuk berpikir jangka pendek dan instan. Penurunan harga karet bukan hanya masalah pasar, tetapi juga karena kualitas kulat yang dihasilkan petani sangat rendah. Dicampur air, pasir, sampah,” tambah orang pandai lain.

“Sawit itu tanaman, bukan biang masalah. Yang selalu menjadi masalah, orang yang menanamnya. Api itu panas. Kalau digunakan untuk memasak, ya berguna. Kalau digunakan untuk membakar orang, ya salah. Persoalannya, perkebunan sawit sering dikelola oleh orang yang tidak tahu apa-apa. Lebih parah lagi, oleh orang yang hanya tahu keuntungan belaka. Padahal, tidak mustahil perkebunan sawit dan kelestarian hutan bisa seiring sejalan. Yang perlu dibenahi artinya, orangnya. Bukan sawitnya. Sawit…dari zaman nenek moyang sampai cicit ya begitu-begitu saja,” ungkap seorang aktivis lingkungan.

Terdorong oleh pengalaman nestapa tidak mampu melakukan apa-apa saat berhadapan dengan perusahaan, Margono memberanikan diri untuk berdiskusi dengan mereka. 

Margono tidak mengenal pendidikan tinggi. Ia bersekolah sebatas SMP, lalu membantu orang tua bekerja apa saja. Bila ada orang yang beranggapan ia pandai, itu semua didapat dari mendengar dan menyimak. Kali ini, Margono tidak bisa menguping saja. Persoalan sawit benar-benar menyakiti perasaannya.

Orang-orang pandai itu ternyata orang-orang yang baik. Mereka sangat terbuka saat Margono menyatakan keluh kesahnya. Sebentar saja, antara Margono dan mereka terjalin diskusi hangat dan menyenangkan.

Sawit mandiri, itu yang selalu orang-orang pandai usulkan. Belum ada di Sintang. Di Kalimantan Barat, hanya hitungan jari. Margono melihatnya sebagai solusi untuk masalah yang ia dan kawan-kawan petaninya hadapi.

Ia kumpulkan para petani di kampung, berembuk, dan sebagian besar mereka setuju dengan usul Margono. Yang menolak beralasan bahwa apa yang akan dilakukan Margono terlalu berisiko. Menjadi petani mandiri artinya tidak memiliki ikatan apapun terhadap perusahaan. Jika gagal, maka tidak ada jaminan dari perusahaan manapun untuk menampung hasil kebun. Sementara, dengan menjadi petani plasma, seburuk apapun hasil kebun mereka, masih dapat diterima.

Lihat selengkapnya