Setiap hari menjadi lebih bergairah bagi Santo. Ia tidak dibebani oleh cerita-cerita kawan-kawannya, yang mengeluh aneka kesusahan di hari tua. Sakit. Terjerat utang. Anak membangkang.
Pembekuan PT. S secara luar biasa mengangkat beban paling jelimet pada diri Santo. Kini ia seringan kapas, menyambut hari tua dengan tangan terbuka dan hati yang gembira.
Senin hingga jumat diisi Santo untuk menjadi konsultan pertanahan bagi perusahaan-perusahaan pengembang perumahan. Ia tidak berpikir tentang berapa honor yang ia terima sebagai konsultan. Kesibukan itu hanya untuk mengisi hari luang usai pensiun. Kesibukan yang paling menggairahkan, tentulah mengurusi kebun di Kakap. Sabtu dan Minggu, bisa dipastikan ia selalu ada di sana.
Rasanya, tidak pernah ia setenang ini sejak masalah perusahaan sawit berkecamuk di kepalanya. Apa yang dipertahankannya, apa yang diperjuangkannya, menampakkan hasil yang sepadan. Tidak selalu orang-orang yang mengalami masalah sama dapat berhasil seperti dia. Di Yayasan W, ia sudah berkali-kali mendengar cerita tentang kegagalan-kegagalan.
Dari jaringan masyarakat adat hampir di seluruh Kalimantan, Santo mendapati banyak keluhan, dan keluhan berubah menjadi tangisan. Perjuangan lebih sering membentur tembok kekuasaan dan kekuatan monopoli kapitalisme. Persentase kegagalan jauh lebih besar daripada keberhasilan. Banyak yang mulai berpikir bahwa Tuhan sudah lepas tangan jika sudah bicara perkara lahan.
Membandingkan semua itu dengan pencapaiannya hari ini, Santo pantas untuk bersyukur dalam-dalam. Ia turut prihatin dengan sejawat-sejawat yang masih menunggu hari bahagia, tetapi untuk hari ini, ia menjadi pemenang. Memang, tujuan yang paling diharapkan masih jauh dari sampai, namun setidaknya di hari ini, ia telah melangkah di jalur yang tepat.
Ia teringat Sunandar, seorang petani di Kalimantan Tengah, yang terpaksa menjadi musuh aparat dan pemerintah. Selama dua tahun, ia memelihara sepetak kecil karet di kampungnya, dan saat ratusan pohon karet itu setahun lagi siap untuk disadap, beberapa aparat datang kepadanya. Para aparat, mengatakan bahwa mereka mewakili perusahaan, dan bermaksud membeli lahan karet Sunandar. Sunandar terperangah, dan semakin tidak percaya ketika harga yang dibebankan untuk lahannya hanya lima juta rupiah per hektar. Turun tiga kali lipat dari harga yang diminta.