Santo begitu miris dengan kemerdekaan palsu yang diberikan negara ini. Mereka yang telah dijebloskan ke penjara, mungkin ratusan atau bisa jadi ribuan orang. Yang mati, puluhan orang. Di Sumatera orang-orang menjahit mulutnya. Di Sumbawa, orang-orang meregang nyawa. Banyak yang berteriak-teriak, memekik hingga ke dasar kuburan. Namun, keadilan rupanya sudah menjadi umbul-umbul pinggir jalan. Hati nurani? Cuih. Slogan kampanye politik belaka.
Ah, Santo sedang ingin menikmati ketenangannya. Maka kecamuk pikiran sesegera mungkin disingkirkan. Ia berdoa semoga kawan-kawannya diberikan jalan yang tidak rumit mempertahankan hak mereka sebagai orang yang memiliki hak. Ia berdoa semoga keberhasilannya membekukan PT. S bisa menjadi motivasi untuk menaikkan moral mereka yang masih berkeringat darah dan air mata, atau masih menganggap mempertahankan tanah dari gempuran ekspansi perusahaan adalah suatu delusi semata.
Di suatu akhir pekan, dalam perjalanan ke kebun, Santo berhenti untuk membeli bensin di sebuah kios. Kios itu juga menjual koran, maka Santo membayar lebih untuk sebuah koran. Sampai di kebun, seraya menyeduh teh, Santo menikmati semilir angin pagi yang turun dari darat ke laut. Tetangga-tetangga yang kebetulan lewat ia sapa dengan riang. Tidak sungkan ia menawarkan mereka untuk singgah.
Angin membuat matanya mengantuk, namun Santo bukan orang yang mudah terlelap hanya karena usapan lembut angin. Ia memilih membaca koran. Tidak ada yang diharapkannya dari koran itu. Sekadar membaca sebagaimana orang-orang membaca koran; tertawa jika ada kejadian lucu, mengelus dada bila ada yang menyedihkan, kecewa bila ada yang mengecewakan.
Lembar per lembar koran dibuka Santo. Di rubrik daerah, ia menjumpai berita dengan judul “Rekayasa Penolakan Sawit di Serawai dan Ambalau”. Kening Santo mengerut. Alisnya mengernyit. Kalimat per kalimat pun ia sisir. Duduknya menjadi tegap.
Seketika Santo menjadi masygul. Ia membaca cepat paragraf-paragraf selanjutnya, tetapi tidak lagi bisa menangkap dengan jelas arti setiap kata. Kepalanya telah dipenuhi dengung tawon-tawon, dan tawon-tawon itu mencacah otaknya dengan brutal. Niatnya bersantai di akhir pekan menjadi hancur berantakan. Teh batal diseduh. Sapaan seorang tetangga yang kebetulan lewat dibalasnya dengan sekadar lambaian. Motor digas dengan lebih cepat, menghasilkan ringkikan mesin yang mengenaskan.
Sampai di rumah, Santo tidak tahu harus melakukan apa. Ia mondar-mandir dengan tensi emosi yang mendidih. Hampir semua sudut rumah dijejaki Santo. Istrinya sedang tidak ada di rumah, begitu pula keponakan-keponakannya. Ingin sekali ia menggapai apa saja yang dekat dengan tangannya, lalu menghempasnya sekuat tenaga.
Telepon ia genggam dengan gemetar. Ia menimbang-nimbang, apakah harus menelepon kawan-kawan di Yayasan W, atau menelepon istrinya, atau menelepon siapapun keluarganya. Lantas, setelah mempertimbangkan bahwa tidak ada gunanya berputar-putar, tidak ada gunanya usul-usul yang terlalu bijak, maka Santo memencet angka-angka nomor Benediktus.