Orang-orang silih berganti datang di rumah Puhtir. Ada yang membawa makanan, namun lebih banyak yang membawa tangan kosong dan doa. Semakin malam, rumah Puhtir semakin ramai. Beberapa orang membawa kopi dan gula sehingga orang betah berlama-lama. Beberapa lagi membawa tuak, arak, dan kartu. Sambil berjudi kecil-kecilan, mereka bernyanyi dan bermain. Suasana menjadi serupa hajatan ketimbang berduka.
Nadi begitu kesal dengan cara penghormatan seperti itu. Jika mereka hanya datang untuk menunjukkan muka, apa gunanya. Lebih baik, habis melayat langsung pulang. Tidak perlu membuat pesta di depan rumah duka. Nadi ingin murka, namun apa dayanya. Ia lebih memilih untuk memedulikan Puhtir yang hampir tidak ada makan seharian.
Jenazah Nek Ga dibaringkan di dalam peti mayat. Peti tersebut terbuat dari pohon kesuhui yang dipotong melintang, dari atas ke bawah, dan dikerok bagian dalamnya. Nek Ga lantas diletakkan di bagian dalamnya. Selama orang masih ingin melihatnya, peti tersebut dibiarkan terbuka. Kelak, ketika akan dimakamkan, peti tersebut ditutup dengan bagian pohon yang lain.
Ujung peti bagian kepala jenazah, terukir anak asui atau anak anjing. Sebuah tenda menaungi peti tersebut. Jadilah ada tenda di dalam kamar. Tenda tersebut diistilahkan dengan kata “hinong”. Para pelayat, duduk di dalam hinong, mengitari peti. Doa-doa dalam bahasa Uud Danum atau Indonesia, atas nama Yesus Kristus atau roh-roh Kahyangan, keluar dari mulut mereka.
Puhtir lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, dekat dengan neneknya. Nadi sesekali menjenguk dia. Meskipun di luar rumah suasana begitu ingar-bingar, di dalam kamar ini, hanya ada hawa kematian. Puhtir lebih memilih untuk tenggelam dalam kedukaan. Wajahnya mulai pucat dan Nadi khawatir akan hal tersebut. Ia mencoba membujuk Puhtir untuk beristirahat dan makan lebih banyak. Puhtir mengangguk, tetapi yang terjadi sama saja.
Dua hari kemudian, Santo dan istrinya datang. Beberapa warga menyambutnya di bantaran sungai. Perjalanan dari Pontianak yang melelahkan tubuh, berbalut dengan luka dan duka, terlihat jelas di wajah Santo dan istrinya. Keduanya berusaha tetap tenang, berusaha menjadi penenang. Mereka tidak lagi naik ke rumah Benediktus, melainkan langsung menuju rumah duka.
Saat mereka datang, keduanya hanya sebentar melihat jenazah Nek Ga. Selebihnya, mereka berusaha membujuk Puhtir, menyuruh Puhtir beristirahat dan makan. Jawaban Puhtir sama, mengangguk, tidak banyak bicara, seperti tidak berniat untuk melanjutkan hidup.