Hari telah memasuki malam namun Benediktus belum berniat untuk pulang. Ia masih menggenggam senapan anginnya dengan tangan erat, menanti tiap gerakan yang muncul dari dalam hutan.
Kabut tipis melayang tinggi ke langit. Di balik kabut, bulan bersinar menciptakan cahaya lembut nan samar-samar ke seluruh hutan. Segalanya tampak fana dan tidak tergapai. Lembut dan tanpa batas yang jelas. Segalanya tampak khayali. Batang-batang pohon yang pada siang hari terlihat kokoh dan perkasa, menjadi sehalus bayangan. Semak-semak tampak tak berbentuk dan bergerak-gerak pelan, begitu pelan hingga seolah diam.
Suara-suara binatang menerkam nyali, dan banyak orang yang percaya, suara-suara seperti itu menandakan bahwa hantu, jin, roh, dan segala makhluk halus sedang berkeliaran. Tetapi Benediktus sudah kebal terhadap perasaan takut apapun. Kebas dan beku. Andai malam menganga lebar, lantas menghisapnya dalam gelap dengan tarikan yang kuat sehingga tidak menyisakan apapun dari dirinya, Benediktus pun tidak peduli.
Ia sungguh muak pada kehidupan. Ia sungguh muak. Kemarin Umang, sekarang Nek Ga. Begitu mudahnya kematian menjemput mereka, seolah perjuangan untuk hidup tidak ada berbekas sedikitpun. Tidak ada sisa-sisanya. Jadi, untuk apa ia juga peduli pada hidupnya. Satu hentakan di kepala, atau satu kejadian terperosok ke jurang, atau salah makan, sudah cukup untuk menghentikan detak jantung. Tidak ada bedanya mati di hari ini atau mati di esok hari.
Saat ia mendengar kabar bahwa Nek Ga menghembuskan napas terakhir, Benediktus tengah minum sedikit tuak bersama beberapa tetangga. Ia tengah belajar kembali menerima kenyataan bahwa Umang telah tiada dan tuak baginya adalah sebuah hal yang bersifat keseharian. Meminumnya artinya kembali pada keseharian, kembali pada kehidupan semula. Ia siap sedia untuk kembali mengolah ladang dan mencari beberapa pekerjaan. Ia siap untuk menjalani hari dengan lepas.
Satu-satunya halangan untuk kembalinya rasa bahagia hanyalah keretakan hubungannya dengan Santo. Ini pun Benediktus sudah memikirkannya dan ia akan menghadapi persoalan itu dengan pikiran dan hati yang terbuka. Selama masa duka, Benediktus beberapa kali memikirkan hal ini, dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa, mungkin ia memang salah. Seratus bibit sawit yang menjadi investasinya jelas tidak sebanding dengan dosa manapun yang pernah dilakukannya, jika hal itu bisa dibilang dosa.
Tetapi, sawit tetap sawit, dan menggelutinya sementara abangnya sedang berjuang keras menolak sawit adalah sebuah tindakan “tidak menghargai perjuangan”. Apalagi gara-gara itu Santo diculik perusahaan. Jika kondisinya lebih tenang, dan konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat tidak pernah terjadi, tentu tindakan Benediktus tidak akan menjadi dosa.
Benediktus mengakui pada dirinya sendiri bahwa dirinya berada pada posisi yang tidak menguntungkan untuk membela diri. Ia ingin memohon maaf secara langsung. Tetapi Santo tidak juga kunjung datang, bahkan tidak juga hadir dalam acara pemakaman Umang. Santo juga tidak hadir selama masa berduka. Saat melihat Nadi datang, Benediktus sebenarnya berharap Santo juga tiba. Nyatanya Nadi hanya seorang diri.