Sejak tengah hari, Benediktus telah meninggalkan rumah dengan senapan angin. Sempat terpikir olehnya untuk menggunakan senapan sebagai pemicu akhir hidupnya. Tetapi, kebaikan istrinya telah membuat rencana bodoh itu menjadi lunak dan Benediktus tidak tega membayangkan istrinya merana harus kehilangan dirinya. Bisa-bisa, istrinya menjadi gila, lalu memilih bunuh diri juga, lantas mereka akan bertemu di akhirat. Tidak mampu Benediktus bayangkan, kehidupan di akhirat selama-lamanya hanya diisi oleh makian dan omelan si istri.
Namun senapan telah dipegang dan amarah yang terpendam harus dimuntahkan. Tidak bisa tidak. Bila dibatalkan, hanya membuat dirinya sekarat di dalam kehampaan jiwa dan pengap kamar. Ia harus mencari pelampiasan, korban untuk kemarahannya, dan tidak ada jalan lain selain menembakkan sebanyak-banyaknya peluru di hewan buruan. Apakah hewan itu nanti berupa babi yang masih bayi atau babi yang kelewat besar, itu urusan belakangan. Ia akan menghujani si korban dengan semua peluru yang ada, dan jika nanti yang bernasib sial adalah babi kecil, Benediktus tidak akan peduli bila akhirnya babi itu tidak berbentuk akibat diterjang jutaan peluru. Tidak ada belas kasihan dalam pelampiasan ini.
Benediktus keluar dari rumah dengan mengendap-endap. Ia tidak ingin dilihat seorang pun, karena tahu orang-orang akan mencegahnya. Masa berkabung untuk kematian seseorang biasanya tujuh hari dan dalam masa berkabung itu, tidak ada seorang warga diperbolehkan untuk pergi berburu dan ke ladang. Mereka hanya diperbolehkan untuk berkeliaran di dalam area pemukiman kampung, demi saling menguatkan dan menghibur. Karena kali ini yang meninggal adalah Nek Ga, bisa jadi masa berkabung itu menjadi lebih lama.
Tetapi, amarah di dalam diri Benediktus sudah begitu mendesak dan ia tidak tahan untuk menunggu seminggu dua minggu lagi. Ia akan mati dalam beberapa hari bila pelampiasan ini tidak dilakukan. Seharusnya, ia maki-maki saja Santo kemarin, lantas mereka bergulat sepanjang hari, memukul dengan sekuat tenaga, menghancurkan beberapa bagian dinding, dan kemudian duduk bersama akibat kelelahan. Biarkan orang-orang mengejek, “tua-tua tidak tahu diri” atau “tidak ada hormat kepada Nek Ga” atau “dimaklumkan saja, mungkin mereka sedang begitu sedih”. Biarkan. Setidaknya, ia tidak menjadi gila akibat tekanan di dalam jiwanya.
Sekarang Santo sudah pulang ke Pontianak, Benediktus tidak memiliki seseorang untuk diajak baku hantam.
Senapan yang dibawa Benediktus terasa semakin berat dari waktu ke waktu. Ia sekarang berada di dalam hutan yang paling dalam setelah empat jam berjalan kaki. Di sini, bila ia meletuskan tembakan, tidak akan ada orang yang mendengar. Tidak ada orang yang tahu bahwa ia telah melanggar pantangan berburu. Ia pun tidak berniat membawa pulang hasil buruan. Ia akan makan sedikit hasil buruannya, karena sedari siang, belum ada sesuap pun makanan yang mengisi lambungnya. Sisa-sisa hewan itu akan ia tanam dalam-dalam. Dengan begitu, tidak ada bekas dalam perburuannya.