Tiga gelas tuak, sayang sekali, telah membuat Rupung pusing. Suasana melankolis meliputi dirinya. Kenangan-kenangan muncul tanpa terelakkan. Ia mengingat Nek Ga, yang kemarin pagi dikuburkan, telah bersatu dengan tanah. Rupung diliputi kegundahan. Muncul gagasan: memberikan sebuah persembahan bagi kepergian Nek Ga. Sekarang, apa yang harus dipersembahkan? Persembahan itu haruslah sesuatu yang bertahan lama, yang bisa dilihat oleh semua orang. Nek Ga adalah wanita baik, bijak, dan tiada yang menyangkal, kehidupannya berarti banyak bagi kampung ini dan kepergiannya merupakan pukulan telak bagi semua orang.
Gagasan itu juga mestilah berlandaskan pada kondisi dirinya sendiri. Tidak mungkin ia membeli yang mewah-mewah. Lagi pula, dengan membeli barang, apakah keutuhan persembahan dapat tersampaikan? Bisa-bisa, orang-orang terlupa dengan inti dari persembahan itu, melainkan menjadikan mereka terlalu mengagumi barang mewah tersebut. Jika memang harus barang mewah, apa yang bisa dijadikan persembahan? Gaun cantik? Ditaruh di mana? Di kuburan? Sebentar saja pasti keberadaanya sebab akan segera diambil orang.
Rupung minum segelas lagi.
Persembahan itu, haruslah juga bertumpu pada hubungannya pribadi dengan Nek Ga. Bagaimanapun, ia dan Nek Ga merupakan generasi masa lampau yang ada di kampung ini. Mereka tumbuh dalam nuansa yang sama, meskipun Rupung lebih muda sembilan tahun. Meski antara mereka tidak terlalu banyak kata-kata, Rupung telah menganggap Nek Ga sebagai seorang kakak. Begitu juga sebaliknya. Mereka bekerja sama dalam banyak hal. Rupung membantu Nek Ga untuk memimpin ritual. Nek Ga membantu Rupung untuk bisa berjodoh. Nek Ga juga orang pertama yang memuji karya patungnya.
“Kau akan dikenang karena ukiran tanganmu ini, Dik,” ujar Nek Ga saat itu, yang melintas di pondok ladang Rupung, ketika Rupung memperlihatkan kepadanya patung seukuran kepalan tangan yang baru selesai dibuat.
Patung! Itu dia!
Rupung meletakkan tuaknya. Ia bangkit, menuju ke belakang rumah dengan tergesa-gesa, namun kembali dengan wajah murung. “Seharusnya, aku punya beberapa kayu jelutung. Aku ada ambil minggu lalu. Di mana kuletakkan itu? Di sini tidak ada,” tuturnya dalam hati.
Rupung balik lagi ke belakang rumah, mencari dengan lebih teliti. Di kolong rumah, di langit-langit, di sudut-sudut ruangan. Ia juga mencarinya di dalam kamar, di kamar mandi, di bawah meja makan. Tetapi nihil. Anaknya bertanya cari apa, tetapi Rupung tidak menjawab. Dirinya sedang tergesa-gesa, sekaligus bingung mencari-cari, sekaligus berusaha keras mengendalikan gairah berkarya yang meluap-luap.
Kesal, Rupung mengambil segelas tuak lagi. Otaknya terus berpikir, di mana kayu itu. Ia mengingat-ingat: seminggu lalu ia masuk ke hutan, berburu, lalu melihat pohon jelutung yang sudah mati, lalu ditebangnya, dibawanya sekubik. Karena berat... ia meninggalkannya di pondok ladang.