Kala itu, usai acara dalok…
Liang Selinep yang setiap hari hanya diisi alunan gemericik air, dahan-dahan yang dipatahkan monyet-monyet, sesekali pekik elang, mendadak dipenuhi riuh rendah segerombolan manusia. Jumlah mereka hampir dua puluh orang, berisi para lelaki dan perempuan, dari yang mendekati hari mati hingga yang belum lagi lima tahun mengecap udara dunia.
Dalok telah selesai. Tahun hendak berganti. Istri Santo, istri Benediktus, Maria, berbagai macam perempuan, memiliki usul untuk berkemah di Liang Selinep.
“Sudah lama kita tidak bertamasya bersama. Kiranya, sekarang waktu yang tepat,” kata istri Santo. Para lelaki, yang dilanda kelelahan setelah berhari-hari mengurusi dalok, menyambut hal itu dengan suka cita.
Maka, dalam sekejap saja para perempuan dan para lelaki saling bekerja sama menyiapkan berbagai bekal untuk perkemahan satu malam. Kelambu yang ada dikeluarkan semua. Gula, kopi, garam, ayam, beras, sebanyak-banyaknya dimasukkan ke dalam keranjang. Panci dan wajan diikat dengan terik. Tiga terpal besar digulung. Anak-anak bersorak-sorai seolah mendapatkan mainan baru. Mereka semua terjangkit kebahagiaan dan keceriaan yang meletup-letup.
Lewat dari tengah hari, segala persiapan telah siap diangkut. Dua sampan mengantar mereka ke bawah Air Terjun Songumang. Dari sana, mereka berjalan kaki naik ke puncak air terjun, berbelok ke pinggir hutan, naik sampan kecil, menyusuri sungai yang hampir tidak berombak, melewati Air Terjun Haci, turun di pinggir hutan, lalu berjalan kaki ke kawasan yang dinamakan Liang Selinep.
Bocah-bocah kecil digendong walau sebagian mereka merengek minta berjalan. Sesekali, ada yang tersandung akar. Sesekali, ada yang berhenti dan mencari tempat yang tidak terlihat untuk kencing. Sesekali, mereka berhenti untuk memungut buah-buahan hutan dan dahan-dahan kering.