DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #79

Tahtum #79

Kehidupan di Kampung Rangan Marau berjalan dengan sederhana. Syahdan, orang-orangnya bangun sebelum dingin malam pergi dan tidur sebelum hangat matahari tak berbekas. Mereka tidur dengan berselimutkan kulit kayu, dan bagi para pemburu hebat, berselimutkan kulit binatang besar. Entah kulit babi, kijang, rusa, monyet, atau beruang.

Perempuan-perempuannya adalah manusia-manusia perkasa sekaligus anggun dan lembut. Setiap pagi, sebelum terang menyentuh selembar pun daun, mereka pergi ke ladang, membawa tumpukan parang di dalam keranjang rotan yang digendong di punggung. Ibu-ibu mengganti isi keranjang dengan sang bayi, sedangkan perkakas berladangnya dibawakan gadis-gadis. Sore hari, mereka mengurus para suami. Jika matahari masih memberikan cahaya, tangan-tangan mereka menjalin satu demi per satu rotan untuk dijadikan tikar atau caping kepala. Di antara mereka ada yang mahir menganyam, dan sebagai tanda keahlian, pergelangan mereka dirajah.

Para lelakinya adalah para pemburu. Mereka memiliki tombak dengan mata tombak dibuat dari batu yang sangat keras. Ada yang memiliki parang dengan bentuk yang besar di ujungnya. Mereka menyebutnya ahpang. Bertahun-tahun kemudian, ketika mereka berpikir bagaimana cara berburu burung dan tupai, mereka mencoba senjata tiup. Cara itu, ditemukan setelah beberapa kali mereka bertemu orang-orang dari perkampungan lain.

Dalam perburuan, tidak jarang mereka bertemu dengan orang-orang dari perkampungan lain. Ada pertemuan yang berakhir dengan minum-minum dan saling bertukar barang. Ada pertemuan yang berakhir dengan hilangnya kepala, menyebabkan setiap saat mereka curiga. Dan di antara semua pertemuan yang berakhir menyedihkan, pertarungan dengan Orang-Orang dari Utara adalah yang terbesar.

Saat itu, orang-orang Rangan Marau pergi berburu ke bagian utara. Mereka melewati sebuah pegunungan dan tiba di lembah yang penuh pohon-pohon besar, yang menyediakan babi-babi besar dan beruang-beruang gemuk. Pimpinan Rangan Marau adalah Lambung. Ia adalah pria tegap, dengan tulang dagu menonjol ke depan, dan mata sipitnya setajam ahpang yang dipegangnya.

Jejak babi mulai terlihat. Patahan-patahan ranting, rerumputan yang rebah, menandakan bahwa mereka bisa membawa pulang lebih dari lima ekor babi. Ini kelompok binatang buruan yang besar, yang pastinya ada jantan, betina, anakan, mungkin juga kakek neneknya.

Hampir setengah hari mereka menguntit, dan dekat malam hari, akhirnya jejak semakin jelas. Langkah kaki mulai diatur dengan cermat, agar tidak menimbulkan gemerisik. Dan itu dia, babi-babi kegemukan, penuh isi dan menawarkan aroma daging bakar yang sedap. Yang jantan, moncongnya hampir sama dengan panjang tubuhnya. Besar dan berisik. Di belakangnya, babi-babi betina, disusul kemudian anak-anak babi yang merah, tak berbulu, dan belepotan lumpur. Mereka, anak-anak babi itu, berjalan ibarat jambu menggelinding di atas rumput kering.

Para pemburu Rangan Marau mendekat pelan-pelan, tetapi seseorang lantas mendatangi Lambung dengan cepat.

“Ada jejak! Pemburu lain!”

Lihat selengkapnya