Waktu merayap dengan cepat, dan Lambung menjadi tua. Ia masih bisa berburu namun lemparannya jarang yang tepat sasaran. Begitu pula dengan kawanannya berburu. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk lebih sering berbaring di pondok ladang, memandang dan memindai bayang-bayang yang pendek menjadi panjang, lalu menjadi pendek kembali.
“Begitulah kita, manusia, sesungguhnya hanya bayang-bayang. Tidak pernah menjadi pegunungan, apalagi matahari,” tuturnya pada cucu-cucunya.
Kehidupan akhir Lambung tampaknya akan indah hingga datang berita dari Sempung, menantunya yang pandai segalanya.
“Orang-orang dari Utara telah beranak pinak banyak-banyak. Para perempuan harus melahirkan dua puluh orang laki-laki. Dan sekarang mereka menjadi kampung yang besar. Tidak lama lagi, anak-anak dari orang-orang yang kita perangi dulu datang untuk membalas dendam.”
“Kalau begitu,” Lambung terlihat tidak terkejut, “aturlah sebaik kepandaianmu. Berpikirlah sesekali seumpama bayang-bayang.” Itu menjadi kalimat terakhir Lambung. Ia merelakan kepergian rohnya dengan tarikan napas lembut, dengan mata melihat bayangnya sendiri, dengan bibir mengulum seperti seorang bayi.
Tidak lama setelah pemakaman Lambung, Sempung diangkat menjadi pimpinan. Kemudian ia mengumpulkan seluruh orang Rangan Marau, meminta pendapat tentang kemungkinan serangan balas dendam Orang-Orang dari Utara. Beberapa mengusulkan untuk berperang. Sebagian yang lain berharap untuk bersembunyi. Sempung teringat pesan Lambung, dan mengemukakan gagasan untuk menjadi bayang-bayang malam.
“Kita menghilang dari sini, pergi mencari tempat baru,” putusnya.
Beberapa orang menggerutu sebab itu dianggap sikap yang tidak berani. Sempung menjawab tenang, “Kalau keberanian hanya menghabiskan seluruh nyawa kita, istri kita, anak-anak kita, maka aku memilih untuk menjadi pengecut. Ini bukan hanya soal hari ini. Ini soal hari besok. Kecuali kalian memang menginginkan punah sebelum melihat cucu kalian berkembang biak. Mereka berjumlah seribu orang, membawa amarah dan dendam, sedangkan jumlah kita bahkan kesulitan untuk menghabiskan hasil ladang.”
Dalih itu berhasil mengusik pendapat untuk berperang. Mereka berpikir ulang dan akhirnya setuju untuk pindah tempat.
Siasat lantas disusun. Dalam perpindahan, untuk mengurangi jejak dan memudahkan pergerakan, mereka akan berpencar. Semakin sedikit sebuah kelompok, semakin mudah untuk melarikan diri bila musuh mendapati. Setiap kepala keluarga utama didaulat menjadi pemimpin kelompoknya.
Namun, harus ada janji yang dibuat. Meskipun berpisah jalur, tetap satu dalam kesepakatan. Berpisah bukan penghalang untuk saling berhubungan dan saling membantu. Totok bakaka, tanda-tanda isyarat, pun disepakati. Jika suatu kelompok mengirimkan lunju atau tombak, itu bermakna seluruh suku dalam bahaya. Ewah atau penutup bagian selangkangan yang ujungnya dibakar berarti ada tetua keluarga meninggal dunia. Macam-macam lagi tanda.
Perpindahan itu harus direstui dewa-dewa. Maka ritual manajah antang, meramal petunjuk, dilakukan. Sempung menjadi pimpinan ritual. Ia memanggil antang, burung elang, perantara doa dan restu manusia kepada mereka yang ada di langit.
Sebelum elang dipanggil, tiga patinju, batang tiang petunjuk arah, didirikan. Ujung tiap tiang diberi tempat bagi burung elang untuk hinggap. Diikatkan juga kain pada tempat hinggap itu. Tiap tiang mendapat warna yang berbeda. Kuning, hitam, dan hijau. Tiap warna mengarahkan ke mana mereka akan melangkah. Kuning untuk Sungai Kahayan. Hitam untuk Sungai Kamba. Hijau untuk Sungai Katingan.