Di lain waktu, seisi kampung Tumbang Pajangei mendadak diserang wabah. Mulanya, Tambun dan Bungai yang terserang. Bisul yang bernanah bermunculan di sekujur tubuh mereka. Mereka mengerang-ngerang kesakitan. Ditambah lagi rasa gatal yang muncul memaksa tangan mereka menggaruk-garuk. Namun, semakin digaruk semakin banyak bisul itu muncul, dan erangan kesakitan semakin memekik. Orang-orang mencoba membantu mereka berdua, namun yang terjadi, niat baik itu menjadi sengsara satu kampung. Satu kampung tertular, dan semakin runyam pekikan kesakitan di Tumbang Pajangei.
Belian-belian atau dukun-dukun dari kampung lain yang ada di Sungai Kahayan didatangkan. Para belian itu mencoba kebolehan mereka. Berbagai ramuan dibuat. Aneka jampi dilantunkan. Macam-macam doa dan puja dihaturkan pada sang dewata. Namun tidak pula para pesakitan kunjung membaik.
Kemudian, Rambang, setelah bertapa cukup lama, menghadap Sempung, menyarankan semua orang mandi berkubang bersama kerbau putih. Sempung sempat marah mendengar itu, beranggapan bahwa Rambang membuat lelucon pada saat yang tidak tepat. Rambang bersikeras bahwa usulnya adalah jalan satu-satunya. Sempung semakin marah, beranggapan bahwa lelucon Rambang sudah menjadi hinaan. Keadaan wabah sudah cukup gawat, membuat Sempung kehilangan kepercayaan pada Rambang.
Tetapi, percakapan Rambang dan Sempung didengar oleh Bungai dan Tambun yang tengah meringkuk tak berdaya di dalam bilik. Segera saja, mereka berlari keluar rumah, mencari kerbau putih, menyeretnya dengan penuh paksaan ke lumpur tidak jauh dari kampung, dan menceburkan diri bersama si kerbau putih. Semua orang keluar rumah demi melihat apa yang dilakukan Tambun dan Bungai. Lalu, ketika Tambun dan Bungai keluar dari kubangan dengan badan bersih dari bisul, serta merta kubangan dipenuhi oleh orang-orang penyakitan. Beberapa kali si kerbau putih mencoba keluar, namun, entah kakinya, entah ekornya, entah moncongnya, selalu ditarik kembali.
Malam hari, Tumbang Pajangei penuh dengan sorak sorai kebahagiaan. Sempung meminta maaf kepada Rambang sebab meragukannya dan Rambang sama sekali tidak berpikiran bahwa apa yang dilakukan oleh Sempung adalah sebuah kesalahan. Rambang dikelilingi oleh para gadis yang menari-nari tidak beraturan. Sementara kerbau putih, telah keluar dari kubangan dalam wujud potongan-potongan daging yang dibakar.
***
Saat masih merantau, dalam sebuah pengembaraan, Rambang bertemu dengan keluarga Kalangkang yang dahulu tidak ikut SempungĀ pindah ke Sungai Kahayan. Keluarga itu justru ke arah utara. Pembangkangan itu membuat malu Sempung sebagai pasak, pimpinan. Rambang, sebagai keluarga Sempung, membawa serta rasa malu itu. Pertemuan dengan keluarga Kelangkang melahirkan suasana dendam yang terus dibawanya ke Tumbang Pajangei.