Beberapa pertempuran mereka lakoni usai pengayauan ke keluarga Kelangkang. Asal musababnya beragam. Masalah hutang piutang pun pernah menjadi perkara.
Sewaktu Rambang masih merantau, ia pernah singgah di kampung seseorang bernama Kandang Tumbang Kutai Bulan. Mulanya, ia diterima dengan baik. Namun, sebuah tragedi hilangnya keperawanan seorang gadis telah menempatkan Rambang sebagai tertuduh utama. Rambang menolak, namun para hakim bersepakat ia dikenakan sanksi adat membayar emas tiga perahu. Tidak terima dengan hukuman tersebut, Rambang kabur.
Sekarang ia kembali, bukan membawa perahu berisi emas, tetapi perahu berisi pasukan. Di dalam pasukan, ada Tambun, Bungai, dan Ringkai. Kesaktian mereka telah tersohor. Rambang menuntut putusan hakim dicabut sebab ia memang tidak bersalah. Kandang Tumbang Kutai Bulan bergeming. Perang terbuka pun terjadi. Dari pihak Rambang, hanya Tambun, Bungai, Ringkai, dan Rambang yang turun tangan. Sementara Kandang Tumbang Kutai Bulan menurunkan seluruh lelaki yang jago perkasa. Akhir pertempuran, Kandang Tumbang Kutai Bulan sekeluarga dan separuh rumah panjang habis bergeletak tak bernyawa.
Di lain waktu, mereka harus menolong Lamiang, sepupu mereka di salah satu kampung di Sungai Kahayan, yakni kampung Manuhing Titun Datah Tambun. Lamiang adalah gadis cantik, anak Antang dan Benang. Antang masih memiliki pertalian darah dengan Sempung. Sebab itu, masalah Antang juga menjadi masalah bagi orang-orang di Tumbang Pajangei.
Tetapi Antang dan istrinya tidak berumur panjang. Karena sakit, hidup mereka terpaksa singkat, meninggalkan Lamiang yang sedang tumbuh dewasa. Parasnya yang semakin sempurna menyebabkan banyak perahu tertambat, membawa lelaki yang tidak sabar untuk meminangnya. Para lelaki itu datang dari jauh, dari sungai yang tidak dikenali, dari pesisir laut, dari pulau antah berantah. Tapi Lamiang sedang belum ingin berkeluarga. Yang ada pada benaknya, melaksanakan dahulu upacara Tiwah kedua orang tuanya.
Alasan Lamiang tidak dapat diterima oleh para lelaki pelamar. Mereka terus memaksa, bahkan meletuskan meriam untuk unjuk kekuatan sekaligus mengancam. Lamiang kebingungan tak berani keluar rumah. Orang-orang Manuhing Tintun Datah Tambun pun demikian, mengurung diri di dalam rumah, membuat mereka tidak dapat berburu atau ke ladang, dan akhirnya kelaparan berhari-hari.
Kabar itu sampai juga pada Sempung, dan tentu saja, terdengar juga oleh Bungai, Tambun, Rambang dan Ringkai. Segera saja, empat orang sakti itu pergi ke Manuhing Tintun Datah Tambun. Setibanya di sana, Bungai mengamuk. Meriam diambilnya dan dibuatnya menjadi pentungan, menghantam semua pendatang. Yang berani melawan, semua dibuatnya menggelepar, sedangkan yang lari dibiarkannya pergi. Perkara pun selesai.
Masalah perempuan datang lagi di lain hari. Salah seorang anak perempuan Sempung, Undang, tumbuh menjadi gadis cantik jelita. Keindahan bulan dan kabut pagi rimba raya pun tidak dapat dijadikan tandingannya. Karena itu, banyak yang datang melamar. Tetapi Sempung sudah menunangkannya dengan dengan saudara sepupunya, Sangalang. Keputusan tidak mungkin diubah.
Satu per satu pelamar undur diri, tetapi ada yang keras kepala. Ia adalah Nawang, adik Raja Solok-Mindanao. Segala keramah-tamahan, dari makanan yang mewah hingga kulit-kulit beruang, sudah diberikan pada adik raja tersebut agar berlalu dengan baik-baik. Tetapi, kepalanya memang batu. Berahinya sedang menuntut. Ia justru marah, berkata bahwa jika lamarannya ditolak, seluruh manusia di Tumbang Pajangei akan musnah, sekalian dengan hutan, hewan, dan sungainya. Sempung tentu tidak terima. Namun, belum ia bertindak, istri Sempung sudah melemparkan duhung, mata tombak, ke arah kepala Nawang. Matilah orang itu sebab duhung menancap dalam di lehernya.