Tahun-tahun berlalu tanpa ada pertempuran berarti. Empat pemuda sakti satu per satu menua dan akhirnya menemui ajal, atau menggaibkan diri, atau entah kemana.
Ringkai menjadi orang pertama yang pergi. Tiba-tiba saja suatu hari ia rubuh di ambang rumah, tersangkut kakinya di sebuah papan yang melintang tak sengaja, dan tidak bangun-bangun lagi.
Kepergian Ringkai ternyata memicu masalah lain bagi yang masih hidup. Dalam masa berduka, seharusnya istri Ringkai, Timpung, keluar rumah dengan berpakaian serba putih. Tetapi, suatu saat hari hujan dan Timpung keluar mengambil jemuran. Pakaian yang melekat di tubuhnya berwarna merah.
Janda itu terlihat oleh Bungai yang lalu mengambil sumpitnya dan mengarahkannya ke tubuh Timpung. Ia tidak sungguh-sungguh, hanya berlakon saja sambil berkata dalam hati, “Seandainya Timpung bukan sepupu, iparnya, janda sepupunya, tentulah sudah mati Timpung oleh sumpit ini.” Sumpit yang kosong itu pun dihembusnya.
Ternyata, Timpung jatuh rebah dan langsung meninggal saat itu juga. Anak sumpit menancap di sebelah bawah buah dadanya. Bungai heran dan terkejut. Ia sangat yakin sumpitnya tidak berisi apa-apa. Orang-orang mengerumuni Timpung. Orang-orang memandang Bungai dengan pandangan murka. Bungai tidak mampu mengelak.
Etak, kakak Timpung meminta utang napas dibayar dengan napas, utang darah dibayar dengan darah. Bungai harus merelakan nyawanya. Ia pun digiring ke Hurung Untung, tempat Etak melaksanakan tiwah, penyempurnaan pemakaman, untuk Timpung.
Salah seorang tetua Desa Tumbang Pajangei bernama Behing melihat keadaan itu. Ia mengatakan bahwa bermusuhan sesama keluarga tidak akan ada kesudahannya. Tetapi pendapatnya tidak digubris.
Sudah tiga bulan tiwah untuk Timpung berlangsung, namun Bungai yang tidak melawan tidak juga dapat dibunuh. Karena jika ia bergerak maka orang lain yang meninggal, sehingga Etak terpaksa selalu harus berurusan dahulu untuk membayar denda bagi setiap orang yang menuntut kematian demi kematian.